Bukti Kebenaran Al-Quran

Al-Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama, menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan (baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan 114 surah. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca QS 10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23).



Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan: Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88).



Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali jika ia memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin. Muhammad saw. sangat yakin akan wahyu-wahyu Tuhan, karena "Wahyu adalah informasi yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan."



Walaupun Al-Quran menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad, tapi fungsi utamanya adalah menjadi "petunjuk untuk seluruh umat manusia." Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa juga disebut sebagai syari'at. Syari'at, dari segi pengertian kebahasaan, berarti ' jalan menuju sumber air." Jasmani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun membutuhkan "air kehidupan." Di sini, syari'at mengantarkan seseorang menuju air kehidupan itu.



Dalam syari'at ditemukan sekian banyak rambu-rambu jalan: ada yang berwarna merah, yang berarti larangan; ada pula yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada yang hijau warnanya, yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Ini semua, persis sama dengan lampu-lampu lalulintas. Lampu merah tidak memperlambat seseorang sampai ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara pejalan dari mara bahaya. Demikian juga halnya dengan "lampu-lampu merah" atau larangan-larangan agama.



Kita sangat membutuhkan peraturan-peraturan lalulintas demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga dengan peraturan lalulintas menuju kehidupan yang lebih jauh, kehidupan sesudah mati. Di sini, siapakah yang seharusnya membuat peraturan-peraturan menuju perjalanan yang sangat jauh itu?



Manusia memiliki kelemahan-kelemahan. Antara lain, ia seringkali bersifat egoistis. Disamping itu, pengetahuannya sangat terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi menyusun peraturan lalulintas menuju kehidupan sesudah mati, maka diduga keras bahwa ia, di samping hanya akan menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat terbatas bahkan keliru, karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah kematian.



Jika demikian, yang harus menyusunnya adalah "Sesuatu" yang tidak bersifat egoistis, yang tidak mempunyai sedikit kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang Mahaluas. "Sesuatu" itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan peraturan yang dibuatnya itu dinamai "agama".



Sayang bahwa tidak semua manusia dapat berhubungan langsung secara jelas dengan Tuhan, guna memperoleh informasi-Nya. Karena itu, Tuhan memilih orang-orang tertentu, yang memiliki kesucian jiwa dan kecerdasan pikiran untuk menyampaikan informasi tersebut kepada mereka. Mereka yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul.



Karena sifat egoistis manusia, maka ia tidak mempercayai informasi-informasi Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi itu. Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia terpilih itu adalah Nabi-nabi yang mendapat tugas khusus dari Tuhan.



Untuk meyakinkan manusia, para Nabi atau Rasul diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. Bukti-bukti tersebut merupakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka --sebagai manusia biasa (bukan pilihan Tuhan)-- lakukan. Bukti-bukti tersebut dalam bahasa agama dinamai "mukjizat".



Para Nabi atau Rasul terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus untuk seluruh umat manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman.



Pengutusan ini juga memerlukan mukjizat. Dan karena sifat pengutusan itu, maka bukti kebenaran beliau juga tidak mungkin bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu harus bersifat universal, kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia. Di sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat.



Paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar bersumber dari Allah SWT.



Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir, Persia atau Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit." Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48).



Ketiga aspek yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita yang tidak memahami dan memiliki "rasa bahasa" Arab --karena keindahan diperoleh melalui "perasaan", bukan melalui nalar. Namun demikian, ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu pemahaman aspek pertama ini.



Seperti diketahui, seringkali Al-Quran "turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang bertolak belakang.



Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan secara sangat singkat sebagai berikut.



A. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Beberapa contoh, di antaranya:

Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;

Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;

Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali;

Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;

Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;

Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;

Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;

Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;

Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.



B. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.

Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;

Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;

Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;

Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;

Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;

Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali.



C. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.

Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;

Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;

Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali;

Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;

Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.



D. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.

Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;

Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali;

Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali;

Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.



E. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.

(1) Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.



(2) Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.



(3) Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.



Demikianlah sebagian dari hasil penelitian yang kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat di atas.



Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?



Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak ragam serta peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak mungkin dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini.



Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekah isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)" (perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan "ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui!



Kesemua aspek tersebut tidak dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya.



MEMBUMIKAN AL-QURAN

Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat

Dr. M. Quraish Shihab

Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996

Jln. Yodkali 16, Bandung 40124

Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038

mailto:mizan@ibm.net





Kamis, 10 Mei 2001

Sejarah Hidup Muhammad

KATA PERKENALAN
oleh almarhum Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi (Rektor Magnificus Universitas Al-Azhar)
PRAKATA
Lingkungan kekuasaan Islam yang pertama -xli; Islam dan Nasrani - xliii; Kaum Muslimin dan Isa - xliii; Orang-orang Kristen yang fanatik dan Muhammad - xlv; Dasar-dasar yang sederhana dalam kedua agama - xlvi; Perbedaan Tauhid dan Trinitas -xlvii; Kaum Nasrani mengajak Nabi berdebat - xlviii; Masalah penyaliban Almasih - li; Rumawi dan kaum Muslimin - lii; Penulis-penulis Kristen dan Muhammad - lii; Sebab permusuhan Islam-Kristen - lv; Kristen tidak sesuai dengan watak Barat - lvi; Penjajahan dan propaganda anti Islam - lviii; Islam dan apa yang terjadi dengan umat Islam -lviii; Sikap jumud di kalangan pemuda - lix; Ilmu dan literatur Barat - lx; Usaha-usaha modernisasi dunia Islam - lxi; Misi penginjil dan golongan yang berpikiran beku - lxii; Terpikir akan menulis buku ini - lxiii; Qur'an sumber yang paling otentik - lxiii; Konsultasi yang tepat - lxiv; Dalam batas-batas biografi, tidak lebih - lxvi; Penyelidikan berguna bagi seluruh umat manusia - lxviii.
Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3, Bagian 4, Bagian 5, Bagian 6.
PENGANTAR CETAKAN KEDUA

Pembela-pembela Orientalis - lxxiv; Sebab-sebab kesalahan Orientalis - lxxvi; Buku biografi penulis-penulis Islam sebagai pegangan - lxxvi; Orientalis dan ketentuan-ketentuan agama - lxxviii; Qur'an tidak diubah-ubah - lxxviii; Pendapat Muir - lxxx; Penulisan Qur'an pada zaman Nabi - lxxxi; Bila berselisih kembali kepada Nabi - lxxxii; Pengumpulan Qur'an langkah pertama - lxxxiii; Mushaf Usman - lxxxiv; Persatuan Islam zaman Usman - lxxxv; Mushaf Usman cermat dan lengkap - lxxxvi; Cara yang sebenarnya dalam mengadakan penyelidikan - xc; Fitnah sekitar ayan - xci; Kembali kepada ilmu pengetahuan - xcii; Kadang ilmu yang tidak cukup - xciii; Menyerang Muhammad karena gagal menyerang ajarannya - xcv; Pertimbangan mereka yang aktif dalam soal-soal Islam - xcvii; Selawat kepada Nabi - xcviii; Menangkis kecaman - c; Buku-buku sejarah dan buku-buku hadis - c; Kontradiksi - ci; Faktor waktu, ketika cerita itu ditulis - ciii; Pengaruh pertentangan politik dalam dunia Islam - civ; Penghimpunan hadis - civ; Kriterium yang sebenarnya tentang Hadis - cv; Penghimpunan hadis pada masa Ma'mun - cvii; Cerita-cerita tidak masuk akal dan tidak ilmiah - cx; Qur'an dan mujizat - cx; Mujizat terbesar - cxi; Iman menurut pemuka-pemuka Islam - cxiii; Orang-orang mukmin pada masa Nabi - cxiii; Gharaniq dan Tabuk - cxiv; Metoda saya dalam penyelidikan ini - cxvi; Penyelidikan-penyelidikan Orientalis - cxviii; Kaum Muslimin dan penyelidikan - cxix.

PENGANTAR CETAKAN KETIGA

BAGIAN PERTAMA: ARAB PRA-ISLAM (1/4)
Muhammad Husain Haekal

Sumber peradaban pertama - Agama Yahudi dan Kristen
- Sekta-sekta Kristen dan Pertentangannya - Majusi
Persia di jazirah Arab - Jalan-jalan kafilah - Yaman
dan peradabannya - Sebabnya Jazirah bertahan pada
paganisma.
PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan dari mana
pula asal-usulnya, sebenarnya masih ada hubungannya dengan
zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian sudah lama
menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam
ribu tahun yang lalu adalah Mesir. Zaman sebelum itu
dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu
sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah.
Sarjana-sarjana ahli purbakala (arkelogi) kini kembali
mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan
maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan Funisia
serta menentukan zaman permulaan daripada kedua macam
peradaban itu: adakah ia mendahului peradaban Mesir masa
Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa
itu dan terpengaruh karenanya?

Apapun juga yang telah diperoleh sarjana-sarjana arkelogi
dalam bidang sejarah itu, samasekali tidak akan mengubah
sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian
benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan
hasil yang berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber
peradaban pertama - baik di Mesir, Funisia atau Asiria - ada
hubungannya dengan Laut Tengah; dan bahwa Mesir adalah pusat
yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani
atau Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup
kita sekarang ini, masih erat sekali hubungannya dengan
peradaban pertama itu.

Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam
penyelidikam tentang sejarah peradaban, tidak pernah memberi
pengaruh yang jelas terhadap pengembangan peradaban-peradaban
Fira'un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan
dan perkembangan peradaban-peradaban tersebut. Hal ini baru
terjadi sesudah ada akulturasi dan saling-hubungan dengan
peradaban Islam. Di sinilah proses saling
pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah
sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban
dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.
Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar
ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di
Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu, yang sampai
saat ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang pertanian,
perdagangan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan
manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dan
pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa
sumber itu berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir
Purba yang tergambar dalam Osiris, Isis dan Horus, yang
memperlihatkan kesatuan dan penjelmaan hidup kembali di
negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak,
dan antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran,
kebaikan dan keindahan yang bersumber dan tumbuh dari
gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera; demikian sesudah
itu timbul perbedaan-perbedaan yang dengan penggambaran
semacam itu dalam pelbagai zaman kemunduran itu telah
mengantarkannya ke dalam kehidupan duniawi. Akan tetapi sumber
semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah dunia,
yang begitu kuat pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini,
sekalipun peradaban demikian hendak mencoba melepaskan diri
dan melawan sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa
tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.

Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan
peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam
lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa
agama-agama yang kita kenal sampai saat ini. Di Mesir
dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan dan
diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama
kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia
alam.
Setelah datang ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat
di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya: "Akulah
tuhanmu yang tertinggi" iapun berhadapan dengan Firaun sendiri
dan tukang-tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia
bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina.
Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah
yang ditiupkan ke dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik
kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian menyebarkan
agama Nasrani yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan
pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam
penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini
tersebar, datanglah Maharaja Rumawi yang menguasai dunia
ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh Kerajaan
Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di
Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan
dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu selama
beberapa abad kekuasaan agama ini semakin kuat juga. Semua
yang berada di bawah panji Kerajaan Rumawi dan yang ingin
mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan Kerajaan ini,
berada di bawah panji agama Masehi itu.

Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di bawah panji
dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di
Persia yang mendapat dukungan moril di Timur Jauh dan di
India. Selama beberapa abad itu Asiria dan Mesir yang
membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya
suatu pertarungan langsung antara kepercayaan dan peradaban
Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia
ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan
itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang sudah
berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad berturut-turut,
baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya
masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam,
kini telah berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing
merasa perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan
kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi
kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara
mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.
Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat mengalahkan Rumawi
dan dapat menguasai Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di
ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja
Persia akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat
agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan
menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah
ibadat mereka yang sudah hancur akibat perang dibantu pula
membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan
upacara-upacara keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat
pihak Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan
dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti
berada di pihak Rumawi Salib itupun diambilnya kembali dari
tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu
tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian
rintangan moril tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua
kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan.

Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam
pada itu pertentangan antara Rumawi dengan Bizantium makin
meruncing. Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di benua
Eropa sampai ke Gaul dan Kelt di Inggris selama beberapa
generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia
dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah
mulai surut, sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan
kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Rumawi yang
menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah
tatkala pasukan Vandal yang buas itu datang menyerbunya dan
mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini
telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang
tumbuh dalam pangkuan Kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah
beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan
besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu.
Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah.Dari zaman ke
zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam
sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai
pandangan dan dasar-dasar agama sendiri yang bertentangan
dengan golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara
golongan-golongan satu sama lain karena perbedaan pandangan
itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa
oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat
sekali ia berada dalam ketakutan, mudah terlibat dalam
fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di
antara golongan-golongan Masehi itu ada yang mengingkari bahwa
Isa mempunyai jasad disamping bayangan yang tampak pada
manusia; ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara
jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal
dan pikiran yang begitu rumit untuk dapat menggambarkannya;
dan disamping itu ada pula yang mau menyembah Mariam,
sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan
sesudah melahirkan Almasih.

Terjadinya pertentangan antara sesama pengikut-pengikut Isa
itu adalah peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat dan
zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya hanya
terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap
kata dan tiap bilangan itu ditafsirkan pula dengan
bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah
dengan warna-warni khayal yang sukar diterima akal dan hanya
dapat dikunyah oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku
saja.

Salah seorang pendeta gereja berkata: "Seluruh penjuru kota
itu diliputi oleh perdebatan. Orang dapat melihatnya dalam
pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang,
pedagang makanan. Jika ada orang bermaksud hendak menukar
sekeping emas, ia akan terlibat ke dalam suatu perdebatan
tentang apa yang diciptakan dan apa yang bukan diciptakan.
Kalau ada orang hendak menawar harga roti maka akan
dijawabnya: Bapa lebih besar dari putera dan putera tunduk
kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang kolam mandi
adakah airnya hangat, maka pelayannya akan segera menjawab:
"Putera telah diciptakan dari yang tak ada."

Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia
terpecah-belah kedalam golongan-golongan dan sekta-sekta itu
dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap
Kerajaan Rumawi. Kerajaan itu tetap kuat dan kukuh.
Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah naungannya dengan
tetap adanya semacam pertentangan tapi tidak sampai orang
melibatkan diri kedalam polemik teologi atau sampai memasuki
pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna
memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah
diambil oleh suatu golongan tidak sampai mengikat golongan
yang lain. Dan Kerajaanpun telah pula melindungi semua
golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan
polemik, yang sebenarnya telah menambah kuatnya kekuasaan
Kerajaan dalam bidang administrasi tanpa mengurangi
penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya
bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan
bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan
pihak yang berkuasa itu.
Sikap saling menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu
itulah pula yang menyebabkan penyebaran agama Masehi tetap
berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah Rumawi sampai
ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan
persahabatan dengan Rumawi. Dengan demikian ia mempunyai
kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut Merah seperti di
sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke
Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang
pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai
Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari
pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur juga
demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di daerah itu
beberapa lama untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia
Majusi.

Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami
kemunduran seperti agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalau
dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan gejala yang
paling menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan
kejahatan pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga
menjadi golongan-golongan dan sekta-sekta pula. Tapi disini
bukan tempatnya menguraikan semua itu. Sungguhpun begitu
kekuasaan politik Persia tetap kuat juga. Polemik keagamaan
tentang lukisan dewa serta adanya pemikiran bebas yang
tergambar dibalik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya.
Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua berlindung
di bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan
itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai suatu cara
supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar
kekuatiran, bila salah satunya menjadi kuat, maka Raja atau
salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.

(bersambung ke bagian 2/4)

---------------------------------------------
S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D

oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980

Seri PUSTAKA ISLAM No.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar