Bukti Kebenaran Al-Quran

Al-Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama, menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan (baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan 114 surah. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca QS 10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23).



Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan: Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88).



Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali jika ia memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin. Muhammad saw. sangat yakin akan wahyu-wahyu Tuhan, karena "Wahyu adalah informasi yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan."



Walaupun Al-Quran menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad, tapi fungsi utamanya adalah menjadi "petunjuk untuk seluruh umat manusia." Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa juga disebut sebagai syari'at. Syari'at, dari segi pengertian kebahasaan, berarti ' jalan menuju sumber air." Jasmani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun membutuhkan "air kehidupan." Di sini, syari'at mengantarkan seseorang menuju air kehidupan itu.



Dalam syari'at ditemukan sekian banyak rambu-rambu jalan: ada yang berwarna merah, yang berarti larangan; ada pula yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada yang hijau warnanya, yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Ini semua, persis sama dengan lampu-lampu lalulintas. Lampu merah tidak memperlambat seseorang sampai ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara pejalan dari mara bahaya. Demikian juga halnya dengan "lampu-lampu merah" atau larangan-larangan agama.



Kita sangat membutuhkan peraturan-peraturan lalulintas demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga dengan peraturan lalulintas menuju kehidupan yang lebih jauh, kehidupan sesudah mati. Di sini, siapakah yang seharusnya membuat peraturan-peraturan menuju perjalanan yang sangat jauh itu?



Manusia memiliki kelemahan-kelemahan. Antara lain, ia seringkali bersifat egoistis. Disamping itu, pengetahuannya sangat terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi menyusun peraturan lalulintas menuju kehidupan sesudah mati, maka diduga keras bahwa ia, di samping hanya akan menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat terbatas bahkan keliru, karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah kematian.



Jika demikian, yang harus menyusunnya adalah "Sesuatu" yang tidak bersifat egoistis, yang tidak mempunyai sedikit kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang Mahaluas. "Sesuatu" itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan peraturan yang dibuatnya itu dinamai "agama".



Sayang bahwa tidak semua manusia dapat berhubungan langsung secara jelas dengan Tuhan, guna memperoleh informasi-Nya. Karena itu, Tuhan memilih orang-orang tertentu, yang memiliki kesucian jiwa dan kecerdasan pikiran untuk menyampaikan informasi tersebut kepada mereka. Mereka yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul.



Karena sifat egoistis manusia, maka ia tidak mempercayai informasi-informasi Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi itu. Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia terpilih itu adalah Nabi-nabi yang mendapat tugas khusus dari Tuhan.



Untuk meyakinkan manusia, para Nabi atau Rasul diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. Bukti-bukti tersebut merupakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka --sebagai manusia biasa (bukan pilihan Tuhan)-- lakukan. Bukti-bukti tersebut dalam bahasa agama dinamai "mukjizat".



Para Nabi atau Rasul terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus untuk seluruh umat manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman.



Pengutusan ini juga memerlukan mukjizat. Dan karena sifat pengutusan itu, maka bukti kebenaran beliau juga tidak mungkin bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu harus bersifat universal, kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia. Di sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat.



Paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar bersumber dari Allah SWT.



Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir, Persia atau Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit." Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48).



Ketiga aspek yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita yang tidak memahami dan memiliki "rasa bahasa" Arab --karena keindahan diperoleh melalui "perasaan", bukan melalui nalar. Namun demikian, ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu pemahaman aspek pertama ini.



Seperti diketahui, seringkali Al-Quran "turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang bertolak belakang.



Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan secara sangat singkat sebagai berikut.



A. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Beberapa contoh, di antaranya:

Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;

Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;

Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali;

Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;

Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;

Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;

Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;

Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;

Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.



B. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.

Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;

Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;

Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;

Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;

Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;

Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali.



C. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.

Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;

Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;

Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali;

Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;

Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.



D. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.

Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;

Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali;

Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali;

Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.



E. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.

(1) Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.



(2) Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.



(3) Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.



Demikianlah sebagian dari hasil penelitian yang kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat di atas.



Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?



Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak ragam serta peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak mungkin dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini.



Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekah isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)" (perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan "ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui!



Kesemua aspek tersebut tidak dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya.



MEMBUMIKAN AL-QURAN

Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat

Dr. M. Quraish Shihab

Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996

Jln. Yodkali 16, Bandung 40124

Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038

mailto:mizan@ibm.net





Jumat, 02 Juli 2010

Imam Syafi’i r.a. (150H – 204H )



Nama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin Al-Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abd al-Muttalib bin ’Abd Manaf bin Ma’n bin Kilab bin Murrah bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Al-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizar bin Ma’d bin ‘Adnan bin Ud bin Udad. Keturunan beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd Manaf. Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.
Penghijrahan ke Palestina
Sebelum beliau dilahirkan, keluarganya telah berpindah ke Palestina kerana beberapa keperluan dan bapanya terlibat di dalam angkatan tentera yang ditugaskan untuk mengawal perbatasan Islam di sana.

Kelahiran dan Kehidupannya
Menurut pendapat yang masyhur, beliau dilahirkan di Ghazzah – Palestina pada tahun 150 Hijrah. Tidak lama sesudah beliau dilahirkan bapanya meninggal dunia. Tinggallah beliau bersama-sama ibunya sebagai seorang anak yatim. Kehidupan masa kecilnya dilalui dengan serba kekurangan dan kesulitan.
PENGEMBARAAN IMAM AL-SHAFI’I

Hidup Imam As-Shafi’i (150H – 204H ) merupakan satu siri pengembaraan yang tersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap pembentukan kriteria ilmiah dan popularitasnya.
Al-Shafi’i di Makkah ( 152H – 164H )
Pengembaraan beliau bermula sejak beliau berumur dua tahun lagi (152H), ketika itu beliau dibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya iaitu dari Ghazzah, Palestina ke Kota Makkah untuk hidup bersama kaum keluarganya di sana.
Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap kerana beliau dihantar ke perkampungan Bani Huzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahawa penghantaran anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat mewarisi kemahiran bahasa ibunda mereka dari sumber asalnya yang belum lagi terpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dan sebagainya. Satu perkara lagi adalah supaya pemuda mereka dapat dibekalkan dengan Al-Furusiyyah (Latihan Perang Berkuda). Kehidupan beliau di peringkat ini mengambil masa dua belas tahun ( 152 – 164H ).
Sebagai hasil dari usahanya, beliau telah mahir dalam ilmu bahasa dan sejarah di samping ilmu-ilmu yang berhubung dengan Al-Quran dan Al-Hadith. Selepas pulang dari perkampungan itu beliau meneruskan usaha pembelajarannya dengan beberapa mahaguru di Kota Makkah sehingga beliau menjadi terkenal. Dengan kecerdikan dan kemampuan ilmiahnya beliau telah dapat menarik perhatian seorang mahagurunya iaitu Muslim bin Khalid Al-Zinji yang mengizinkannya untuk berfatwa sedangkan umur beliau masih lagi di peringkat remaja iaitu lima belas tahun.
Al-Shafi’i di Madinah ( 164H – 179H )
Sesudah itu beliau berpindah ke Madinah dan menemui Imam Malik. Beliau berdamping dengan Imam Malik di samping mempelajari ilmunya sehinggalah Imam Malik wafat pada tahun 179H, iaitu selama lima belas tahun. Semasa beliau bersama Imam Malik hubungan beliau dengan ulama-ulama lain yang menetap di kota itu dan juga yang datang dari luar berjalan dengan baik dan berfaedah. Dari sini dapatlah difahami bahawa beliau semasa di Madinah telah dapat mewarisi ilmu bukan saja dari Imam Malik tetapi juga dari ulama-ulama lain yang terkenal di kota itu.
Al-Shafi’i di Yaman ( 179H – 184H )
Ketika Imam Malik wafat pada tahun 179H, kota Madinah diziarahi oleh Gabenor Yaman. Beliau telah dicadangkan oleh sebahagian orang-orang Qurasyh Al-Madinah supaya mencari pekerjaan bagi Al-Shafi’i. Lalu beliau melantiknya menjalankan satu pekerjaan di wilayah Najran. Sejak itu Al-Shafi’i terus menetap di Yaman sehingga berlaku pertukaran Gabenor wilayah itu pada tahun 184H. Pada tahun itu satu fitnah ditimbulkan terhadap diri Al-Shafi’i sehingga beliau dihadapkan ke hadapan Harun Al-Rashid di Baghdad atas tuduhan Gabenor baru itu yang sering menerima kecaman Al-Shafi’i kerana kekejaman dan kezalimannya. Tetapi ternyata bahawa beliau tidak bersalah dan kemudiannya beliau dibebaskan.
Al-Shafi’i di Baghdad ( 184H – 186H )
Peristiwa itu walaupun secara kebetulan, tetapi membawa arti yang amat besar kepada Al-Shafi’i kerana pertamanya, ia berpeluang menziarahi kota Baghdad yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan para ilmuan pada ketika itu. Keduanya, ia berpeluang bertemu dengan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, seorang tokoh Mazhab Hanafi dan sahabat karib Imam Abu Hanifah dan lain-lain tokoh di dalam Mazhab Ahl al-Ra’y. Dengan peristiwa itu terbukalah satu era baru dalam siri pengembaraan Al-Imam ke kota Baghdad yang dikatakan berlaku sebanyak tiga kali sebelum beliau berpindah ke Mesir.
Dalam pengembaraan pertama ini Al-Shafi’i tinggal di kota Baghdad sehingga tahun 186H. Selama masa ini (184 – 186H) beliau sempat membaca kitab-kitab Mazhab Ahl al-Ra’y dan mempelajarinya, terutamanya hasil tulisan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, di samping membincanginya di dalam beberapa perdebatan ilmiah di hadapan Harun Al-Rashid sendiri.
Al-Shafi’i di Makkah ( 186H – 195H )
Pada tahun 186H, Al-Shafi’i pulang ke Makkah membawa bersamanya hasil usahanya di Yaman dan Iraq dan beliau terus melibatkan dirinya di bidang pengajaran. Dari sini muncullah satu bintang baru yang berkerdipan di ruang langit Makkah membawa satu nafas baru di bidang fiqah, satu nafas yang bukan Hijazi, dan bukan pula Iraqi dan Yamani, tetapi ia adalah gabungan dari ke semua aliran itu. Sejak itu menurut pendapat setengah ulama, lahirlah satu Mazhab Fiqhi yang baru yang kemudiannya dikenali dengan Mazhab Al-Shafi’i.
Selama sembilan tahun (186 – 195H) Al-Shafi’i menghabiskan masanya di kota suci Makkah bersama-sama para ilmuan lainnya, membahas, mengajar, mengkaji di samping berusaha untuk melahirkan satu intisari dari beberapa aliran dan juga persoalan yang sering bertentangan yang beliau temui selama masa itu.
Al-Shafi’i di Baghdad ( 195H – 197H )
Dalam tahun 195H, untuk kali keduanya Al-Shafi’i berangkat ke kota Baghdad. Keberangkatannya kali ini tidak lagi sebagai seorang yang tertuduh, tetapi sebagai seorang alim Makkah yang sudah mempunyai personalitas dan aliran fiqah yang tersendiri. Catatan perpindahan kali ini menunjukkan bahawa beliau telah menetap di negara itu selama dua tahun (195 – 197H).
Di dalam masa yang singkat ini beliau berjaya menyebarkan “Method Usuli” yang berbeza dari apa yang dikenali pada ketika itu. Penyebaran ini sudah tentu menimbulkan satu respon dan reaksi yang luarbiasa di kalangan para ilmuan yang kebanyakannya adalah terpengaruh dengan method Mazhab Hanafi yang disebarkan oleh tokoh utama Mazhab itu, iaitu Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaibani.
Kata Al-Karabisi : “Kami sebelum ini tidak kenal apakah (istilah) Al-Kitab, Al- Sunnah dan Al-Ijma’, sehinggalah datangnya Al-Shafi’i, beliaulah yang menerangkan maksud Al-Kitab, Al-Sunnah dan Al-Ijma’”.
Kata Abu Thaur : “Kata Al-Shafi’i : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyebut (di dalam kitab-Nya) mengenai sesuatu maksud yang umum tetapi Ia menghendaki maksudnya yang khas, dan Ia juga telah menyebut sesuatu maksud yang khas tetapi Ia menghendaki maksudnya yang umum, dan kami (pada ketika itu) belum lagi mengetahui perkara-perkara itu, lalu kami tanyakan beliau …”
Pada masa itu juga dikatakan beliau telah menulis kitab usulnya yang pertama atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, dan juga beberapa penulisan lain dalam bidang fiqah dan lain-lain.
Al-Shafi’i di Makkah dan Mesir ( 197H – 204H )
Sesudah dua tahun berada di Baghdad (197H) beliau kembali ke Makkah. Pada tahun 198H, beliau keluar semula ke Baghdad dan tinggal di sana hanya beberapa bulan sahaja. Pada awal tahun 199H, beliau berangkat ke Mesir dan sampai ke negara itu dalam tahun itu juga. Di negara baru ini beliau menetap sehingga ke akhir hayatnya pada tahun 204H.
Imam As-Shafi’i wafat pada tahun 204H. Asas Fiqih dan Ushul Fiqih kemudian disebar dan diusaha-kembangkan oleh para sahabatnya yang berada di Al-Hijaz, Iraq dan Mesir.
FATWA-FATWA IMAM AL-SHAFI’I

Perpindahan beliau ke Mesir mengakibatkan satu perubahan besar dalam Mazhabnya. Kesan perubahan ini melibatkan banyak fatwanya semasa beliau di Baghdad turut sama berubah. Banyak kandungan kitab-kitab fiqahnya yang beliau hasilkan di Baghdad disemak semula dan diubah. Dengan ini terdapat dua fatwa bagi As-Shafi’i, fatwa lama dan fatwa barunya. Fatwa lamanya ialah segala fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Iraq, fatwa barunya ialah fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Mesir. Kadang-kadang dipanggil fatwa lamanya dengan Mazhabnya yang lama atau Qaul Qadim dan fatwa barunya dinamakan dengan Mazhab barunya atau Qaul Jadid.
Di sini harus kita fahami bahawa tidak kesemua fatwa barunya menyalahi fatwa lamanya dan tidak pula kesemua fatwa lamanya dibatalkannya, malahan ada di antara fatwa barunya yang menyalahi fatwa lamanya dan ada juga yang bersamaan dengan yang lama. Kata Imam Al-Nawawi : “Sebenarnya sebab dikatakan kesemua fatwa lamanya itu ditarik kembali dan tidak diamalkannya hanyalah berdasarkan kepada ghalibnya sahaja”.
PARA SAHABAT IMAM AL-SHAFI’I
Di antara para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal di Al-Hijaz (Makkah dan Al-Madinah) ialah :-
1. Abu Bakar Al-Hamidi, ‘Abdullah bun Al-Zubair Al-Makki yang wafat pada tahun 219H.
2. Abu Wahid Musa bin ‘Ali Al-Jarud Al-Makki yang banyak menyalin kitab-kitab Al-Shafi’i. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
3. Abu Ishak Ibrahim bin Muhammad bin Al-‘Abbasi bin ‘Uthman bin Shafi ‘Al-Muttalibi yang wafat pada tahun 237H.
4. Abu Bakar Muhammad bin Idris yang tidak diketahui tarikh wafatnya.
Sementara di Iraq pula kita menemui ramai para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal, di antara mereka ialah :-
1. Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab yang keempat. Beliau wafat pada tahun 241H.
2. Abu ‘Ali Al-Hasan bin Muhammad Al-Za’farani yang wafat pada tahun 249H.
3. Abu Thaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi yang wafat pada tahun 240H.
4. Al-Harith bin Suraij Al-Naqqal, Abu ‘Umar. Beliau wafat pada tahun 236H.
5. Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali Al-Karabisi yang wafat pada tahun 245H.
6. Abu ‘Abdul RahmanAhmad bin Yahya Al-Mutakallim. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
7. Abu Zaid ‘Abdul Hamid bin Al-Walid Al-Misri yang wafat pada tahun 211H.
8. Al-Husain Al-Qallas. Tidak diketahui tarikh wafatnya.
9. ‘Abdul ‘Aziz bin Yahya Al-Kannani yang wafat pada tahun 240H.
10. ‘Ali bin ‘Abdullah Al-Mudaiyini.
Di Mesir pula terdapat sebilangan tokoh ulama yang kesemua mereka adalah sahabat Imam Al-Shafi’i, seperti :-
1. Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin ‘Amru bin Ishak Al-Mudhani yang wafat pada tahun 264H.
2. Abu Muhammad Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi yang wafat pada tahun 270H.
3. Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al-Misri Al-Buwaiti yang wafat pada tahun 232H.
4. Abu Najib Harmalah bin Yahya Al-Tajibi yang wafat pada tahun 243H.
5. Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la Al-Sadaghi yang wafat pada tahun 264H.
6. Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam Al-Misri yang wafat pada tahun 268H.
7. Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi yang wafat pada tahun 256H.
Dari usaha gigih mereka, Mazhab Al-Shafi’i tersebar dan berkembang luas di seluruh rantau Islam di zaman-zaman berikutnya.
PERKEMBANGAN MAZHAB IMAM AL-SHAFI’I
Menurut Ibn Al-Subki bahawa Mazhab Al-Shafi’I telah berkembang dan menjalar pengaruhnya di merata-rata tempat, di kota dan di desa, di seluruh rantau negara Islam. Pengikut-pengikutnya terdapat di Iraq dan kawasan-kawasan sekitarnya, di Naisabur, Khurasan, Muru, Syria, Mesir, Yaman, Hijaz, Iran dan di negara-negara timur lainnya hingga ke India dan sempadan negara China. Penyebaran yang sebegini meluas setidak-tidaknya membayangkan kepada kita sejauh mana kewibawaan peribadi Imam Al-Shafi’i sebagai seorang tokoh ulama dan keunggulan Mazhabnya sebagai satu-satunya aliran fiqah yang mencabar aliran zamannya.
Masjid Imam Syafi’i ra di Mesir





Pintu masuk menuju Makam Imam Syafi’i ra
IMAM AL-SHAFI’I DAN KITABNYA
Permulaan Mazhabnya
Sebenarnya penulisan Imam Al-Shafi’i secara umumnya mempunyai pertalian yang rapat dengan pembentukan Mazhabnya. Menurut Muhammad Abu Zahrah bahawa pembentukan Mazhabnya hanya bermula sejak sekembalinya dari kunjungan ke Baghdad pada tahun 186H. Sebelum itu Al-Shafi’i adalah salah seorang pengikut Imam Malik yang sering mempertahankan pendapatnya dan juga pendapat fuqaha’ Al-Madinah lainnya dari kecaman dan kritikan fuqaha’ Ahl Al-Ra’y. Sikapnya yang sebegini meyebabkan beliau terkenal dengan panggilan “Nasir Al-Hadith”.
Detik terawal Mazhabnya bermula apabila beliau membuka tempat pengajarannya (halqah) di Masjid Al-Haram. Usaha beliau dalam memperkembangkan Mazhabnya itu bolehlah dibahagikan kepada tiga peringkat :-
1. Peringkat Makkah (186 – 195H)
2. Peringkat Baghdad (195 – 197H)
3. Peringkat Mesir (199 – 204H)
Dalam setiap peringkat diatas beliau mempunyai ramai murid dan para pengikut yang telah menerima dan menyebar segala pendapat ijtihad dan juga hasil kajiannya.
Penulisan Pertamanya
Memang agak sulit untuk menentukan apakah kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i dan di mana dan selanjutnya apakah kitab pertama yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah dan di mana? Kesulitan ini adalah berpunca dari tidak adanya keterangan yang jelas mengenai kedua-dua perkara tersebut. Pengembaraannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain dan pulangnya semula ke tempat awalnya tambah menyulitkan lagi untuk kita menentukan di tempat mana beliau mulakan usaha penulisannya.
Apa yang kita temui – sesudah kita menyemak beberapa buah kitab lama dan baru yang menyentuh sejarah hidupnya, hanya beberapa tanda yang menunjukkan bahawa kitabnya “Al-Risalah” adalah ditulis atas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, iaitu sebuah kitab di dalam Ilmu Usul, pun keterangan ini tidak juga menyebut apakah kitab ini merupakan hasil penulisannya yang pertama atau sebelumnya sudah ada kitab lain yang dihasilkannya. Di samping adanya pertelingkahan pendapat di kalangan ‘ulama berhubung dengan tempat di mana beliau menghasilkan penulisan kitabnya itu. Ada pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya sewaktu beliau berada di Makkah dan ada juga pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya ketika berada di Iraq.
Kata Ahmad Muhammad Shakir : “Al-Shafi’I telah mengarang beberapa buah kitab yang jumlahnya agak besar, sebahagiannya beliau sendiri yang menulisnya, lalu dibacakannya kepada orang ramai. Sebahagiannya pula beliau merencanakannya sahaja kepada para sahabatnya. Untuk mengira bilangan kitab-kitabnya itu memanglah sukar kerana sebahagian besarnya telahpun hilang. Kitab-kitab itu telah dihasilkan penulisannya ketika beliau berada di Makkah, di Baghdad dan di Mesir”.
Kalaulah keterangan di atas boleh dipertanggungjawabkan maka dapatlah kita membuat satu kesimpulan bahawa Al-Shafi’i telah memulakan siri penulisannya sewaktu beliau di Makkah lagi, dan kemungkinan kitabnya yang pertama yang dihasilkannya ialah kitab “Al-Risalah”.
Al-Hujjah Dan Kitab-kitab Mazhab Qadim

Di samping “Al-Risalah” terdapat sebuah kitab lagi yang sering disebut-sebut oleh para ulama sebagai sebuah kitab yang mengandungi fatwa Mazhab Qadimnya iaitu “Al-Hujjah”. Pun keterangan mengenai kitab ini tidak menunjukkan bahawa ia adalah kitab pertama yang di tulis di dala bidang Ilmu Fiqah semasa beliau berada di Iraq, dan masa penulisannya pun tidak begitu jelas. Menurut beberapa keterangan, beliau menghasilkannya sewaktu beliau berpindah ke negara itu pada kali keduanya, iaitu di antara tahun-tahun 195 – 197H.
Bersama-sama “Al-Hujjah” itu terdapat beberapa buah kitab lain di dalam Ilmu Fiqah yang beliau hasilkan sendiri penulisannya atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di Iraq, antaranya seperti kitab-kitab berikut :-
1. Al-Amali
2. Majma’ al-Kafi
3. ‘Uyun al-Masa’il
4. Al-Bahr al-Muhit
5. Kitab al-Sunan
6. Kitab al-Taharah
7. Kitab al-Solah
8. Kitab al-Zakah
9. Kitab al-Siam
10. Kitab al-Haj
11. Bitab al-I’tikaf
12. Kitab al-Buyu’
13. Kitab al-Rahn
14. Kitab al-Ijarah
15. Kitab al-Nikah
16. Kitab al-Talaq
17. Kitab al-Sadaq
18. Kitab al-Zihar
19. Kitab al-Ila’
20. Kitab al-Li’an
21. Kitab al-Jirahat
22. Kitab al-Hudud
23. Kitab al-Siyar
24. Kitab al-Qadaya
25. Kitab Qital ahl al-Baghyi
26. Kitab al-‘Itq dan lain-lain
Setengah perawi pula telah menyebut bahwa kitab pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i adalah di dalam bentuk jawaban dan perdebatan, iaitu satu penulisan yang dituju khas kepada fuqaha’ ahl al-Ra’y sebagai menjawab kecaman-kecaman mereka terhadap Malik dan fuqaha’ Al-Madinah. Kenyataan mereka ini berdasarkan kepada riwayat Al-Buwaiti : “Kata Al-Shafi’i : Ashab Al-Hadith (pengikut Imam Malik) telah berhimpun bersama-sama saya. Mereka telah meminta saya menulis satu jawaban terhadap kitab Abu Hanifah. Saya menjawab bahawa saya belum lagi mengetahui pendapat mereka, berilah peluang supaya dapat saya melihat kitab-kitab mereka. Lantas saya meminta supaya disalinkan kitab-kitab itu.Lalu disalin kitab-kitab Muhammad bin Al-Hasan untuk (bacaan) saya. Saya membacanya selama setahun sehingga saya dapat menghafazkan kesemuanya. Kemudian barulah saya menulis kitab saya di Baghdad.
Kalaulah berdasarkan kepada keterangan di atas, maka kita pertama yang dihasilkan oleh Al-Shafi’i semasa beliau di Iraq ialah sebuah kitab dalam bentuk jawaban dan perdebatan, dan cara penulisannya adalah sama dengan cara penulisan ahl al-Ra’y. Ini juga menunjukkan bahawa masa penulisannya itu lebih awal dari masa penulisan kitab “Al-Risalah”, iaitu di antara tahun-tahun 184 – 186H.
Method Penulisan Kitab-Kitab Qadim
Berhubung dengan method penulisan kitab “Al-Hujjah” dan lain-lain belum dapat kita pastikan dengan yakin kerana sikap asalnya tida kita temui, kemungkinan masih lagi ada naskah asalnya dan kemungkinan juga ianya sudah hilang atau rosak dimakan zaman. Walaubagaimanapun ia tidak terkeluar – ini hanya satu kemungkinan sahaja – dari method penulisan zamannya yang dipengaruhi dengan aliran pertentangan mazhab-mazhab fuqaha’ di dalam beberapa masalah, umpamanya pertentangan yang berlaku di antara mazhab beliau dengan Mazhab Hanafi da juga Mazhab Maliki. Keadaan ini dapat kita lihat dalam penulisan kitab “Al-Um” yang pada asalnya adalah kumpulan dari beberapa buah kitab Mazhab Qadimnya. Setiap kitab itu masing-masing membawa tajuknya yang tersendiri, kemudian kita itu pula dipecahkan kepada bab-bab kecil yang juga mempunyai tajuk-tajuk yang tersendiri. Di dalam setiap bab ini dimuatkan dengan segala macam masalah fiqah yang tunduk kepada tajuk besar iaitu tajuk bagi sesuatu kitab, umpamanya kitab “Al-Taharah”, ia mengandungi tiga puluh tujuh tajuk bab kecil, kesemua kandungan bab-bab itu ada kaitannya dengan Kitab “Al-Taharah”.
Perawi Mazhab Qadim
Ramai di antara para sahabatnya di Iraq yang meriwayat fatwa qadimnya, di antara mereka yang termasyhur hanya empat orang sahaja :
1. Abu Thaur, Ibrahim bin Khalid yang wafat pada tahun 240H.
2. Al-Za’farani, Al-Hasan bin Muhammad bin Sabah yang wafat pada tahun 260H.
3. Al-Karabisi, Al-Husain bin ‘Ali bin Yazid, Abu ‘Ali yang wafat pada tahun 245H.
4. Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241H.
Menurut Al-Asnawi, Al-Shafi’i adalah ‘ulama’ pertama yang hasil penulisannya meliputi banyak bab di dalam Ilmu Fiqah.
Perombakan Semula Kitab-kitab Qadim
Perpindahan beliau ke Mesir pada tahun 199H menyebabkan berlakunya satu rombakan besar terhadap fatwa lamanya. Perombakan ini adalah berpuncak dari penemuan beliau dengan dalil-dalil baru yang belum ditemuinya selama ini, atau kerana beliau mendapati hadis-hadis yang sahih yang tidak sampai ke pengetahuannya ketika beliau menulis kitab-kitab qadimnya, atau kerana hadis-hadis itu terbukti sahihnya sewaktu beliau berada di Mesir sesudah kesahihannya selama ini tidak beliau ketahui. Lalu dengan kerana itu beliau telah menolak sebahagian besar fatwa lamanya dengan berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah Mazhab saya”.
Di dalam kitab “Manaqib Al-Shafi’i”, Al-Baihaqi telah menyentuh nama beberapa buah kitab lama (Mazhab Qadim) yang disemak semula oleh Al-Shafi’i dan diubah sebahagian fatwanya, di antara kitab-kitab itu ialah :-
1. Al-Risalah
2. Kitab al-Siyam
3. Kitab al-Sadaq
4. Kitab al-Hudud
5. Kitab al-Rahn al-Saghir
6. Kitab al-Ijarah
7. Kitab al-Jana’iz
Menurut Al-Baihaqi lagi Al-shafi’i telah menyuruh supaya dibakar kitab-kitab lamanya yang mana fatwa ijtihadnya telah diubah. Catatan Al-Baihaqi itu menunjukkan bahawa Al-Shafi’i melarang para sahabatnya meriwayat pendapat-pendapat lamanya yang ditolak kepada orang ramai. Walaupun begitu kita masih menemui pendapat-pendapat itu berkecamuk di sana-sini di dalam kitab-kitab fuqaha’ mazhabnya samada kitab-kitab yang ditulis fuqaha’ yang terdahulu atau pun fuqaha’ yang terkemudian.
Kemungkinan hal ini berlaku dengan kerana kitab-kitab lamanya yang diriwayatkan oleh Al-Za’farani, Al-Karabisi dan lain-lain sudah tersebar dengan luasnya di Iraq dan diketahui umum, terutamanya di kalangan ulama dan mereka yang menerima pendapat-pendapatnya itu tidak mengetahui larangan beliau itu.
Para fuqaha’ itu bukan sahaja mencatat pendapat-pendapat lamanya di dalam penulisan mereka, malah menurut Al-Nawawi ada di antara mereka yang berani mentarjihkan pendapat-pendapat itu apabila mereka mendapatinya disokong oleh hadis-hadis yang sahih.
Pentarjihan mereka ini tidak pula dianggap menentangi kehendak Al-Shafi’i, malahan itulah pendapat mazhabnya yang berdasarkan kepada prinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah mazhab saya”.
Tetapi apabila sesuatu pendapat lamanya itu tidak disokong oleh hadis yang sahih kita akan menemui dua sikap di kalangan fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i :-
Pertamanya : Pendapat itu harus dipilih dan digunakan oleh seseorang mujtahid Mazhab Al-Shafi’i atas dasar ia adalah pendapat Al-Shafi’i yang tidak dimansuhkan olehnya, kerana seseorang mujtahid (seperti Al-Shafi’i) apabila ia mengeluarkan pendapat barumya yang bercanggah dengan pendapat lamanya tidaklah bererti bahawa ia telah menarik pendapat pertamanya, bahkan di dalam masalah itu dianggap mempunyai dua pendapatnya.
Keduanya : Tidak harus ia memilih pendapat lama itu. Inilah pendapat jumhur fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i kerana pendapat lama dan baru adalah dua pendapatnya yang bertentangan yang mustahil dapat diselaraskan kedua-duanya.
Kitab-kitab Mazhab Jadid
Di antara kitab-kitab yang beliau hasilkan penulisannya di Mesir atau beliau merencanakannya kepada para sahabatnya di sana ialah :-
i. Al-Risalah. Kitab ini telah ditulis buat pertama kalinya sebelum beliau berpindah ke Mesir.
ii. Beberapa buah kitab di dalam hukum-hukum furu’ yang terkandung di dalam kitab “Al-Um”, seperti :-
a) Di dalam bab Taharah :
1. Kitab al-Wudu’
2. Kitab al-Tayammum
3. Kitab al-Taharah
4. Kitab Masalah al-Mani
5. Kitab al-Haid
B) Di dalam bab Solah :
6. Kitab Istiqbal al-Qiblah
7. Kitab al-Imamah
8. Kitab al-Jum’ah
9. Kitab Solat al-Khauf
10. Kitab Solat al-‘Aidain
11. Kitab al-Khusuf
12. Kitab al-Istisqa’
13. Kitab Solat al-Tatawu’
14. Al-Hukm fi Tarik al-Solah
15. Kitab al-Jana’iz
16. Kitab Ghasl al-Mayyit
c) Di dalam bab Zakat :
17. Kitab al-Zakah
18. Kitab Zakat Mal al-Yatim
19. Kitab Zakat al-Fitr
20. Kitab Fard al-Zakah
21. Kitab Qasm al-Sadaqat
d) Di dalam bab Siyam (Puasa) :
22. Kitab al-Siyam al-Kabir
23. Kitab Saum al-Tatawu’
24. Kitab al-I’tikaf
e) Di dalam bab Haji :
25. Kitab al-Manasik al-Kabir
26. Mukhtasar al-Haj al-Kabir
27. Mukhtasar al-Haj al-Saghir
f) Di dalam bab Mu’amalat :
28. Kitab al-Buyu’
29. Kitab al-Sarf
30. Kitab al-Salam
31. Kitab al-Rahn al-Kabir
32. Kitab al-Rahn al-Saghir
33. Kitab al-Taflis
34. Kitab al-Hajr wa Bulugh al-Saghir
35. Kitab al-Sulh
36. Kitab al-Istihqaq
37. Kitab al-Himalah wa al-Kafalah
38. Kitab al-Himalah wa al-Wakalah wa al-Sharikah
39. Kitab al-Iqrar wa al-Mawahib
40. Kitab al-Iqrar bi al-Hukm al-Zahir
41. Kitab al-Iqrar al-Akh bi Akhihi
42. Kitab al-‘Ariah
43. Kitab al-Ghasb
44. Kitab al-Shaf’ah
g) Di dalam bab Ijarat (Sewa-menyewa) :
45. Kitab al-Ijarah
46. Kitab al-Ausat fi al-Ijarah
47. Kitab al-Kara’ wa al-Ijarat
48. Ikhtilaf al-Ajir wa al-Musta’jir
49. Kitab Kara’ al-Ard
50. Kara’ al-Dawab
51. Kitab al-Muzara’ah
52. Kitab al-Musaqah
53. Kitab al-Qirad
54. Kitab ‘Imarat al-Aradin wa Ihya’ al-Mawat
h) Di dalam bab ‘Ataya (Hadiah-menghadiah) :
55. Kitab al-Mawahib
56. Kitab al-Ahbas
57. Kitab al-‘Umra wa al-Ruqba
i) Di dalam bab Wasaya (Wasiat) :
58. Kitab al-Wasiat li al-Warith
59. Kitab al-Wasaya fi al-‘Itq
60. Kitab Taghyir al-Wasiah
61. Kitab Sadaqat al-Hay’an al-Mayyit
62. Kitab Wasiyat al-Hamil
j) Di dalam bab Faraid dan lain-lain :
63. Kitab al-Mawarith
64. Kitab al-Wadi’ah
65. Kitab al-Luqatah
66. Kitab al-Laqit
k) Di dalam bab Nikah :
67. Kitab al-Ta’rid bi al-Khitbah
68. Kitab Tahrim al-Jam’i
69. Kitab al-Shighar
70. Kitab al-Sadaq
71. Kitab al-Walimah
72. Kitab al-Qism
73. Kitab Ibahat al-Talaq
74. Kitab al-Raj’ah
75. Kitab al-Khulu’ wa al-Nushuz
76. Kitab al-Ila’
77. Kitab al-Zihar
78. Kitab al-Li’an
79. Kitab al-‘Adad
80. Kitab al-Istibra’
81. Kitab al-Rada’
82. Kitab al-Nafaqat
l) Di dalam bab Jirah (Jenayah) :
83. Kitab Jirah al-‘Amd
84. Kitab Jirah al-Khata’ wa al-Diyat
85. Kitab Istidam al-Safinatain
86. Al-Jinayat ‘ala al-Janin
87. Al-Jinayat ‘ala al-Walad
88. Khata’ al-Tabib
89. Jinayat al-Mu’allim
90. Jinayat al-Baitar wa al-Hujjam
91. Kitab al-Qasamah
92. Saul al-Fuhl
m) Di dalam bab Hudud :
93. Kitab al-Hudud
94. Kitab al-Qat’u fi al-Sariqah
95. Qutta’ al-Tariq
96. Sifat al-Nafy
97. Kitab al-Murtad al-Kabir
98. Kitab al-Murtad al-Saghir
99. Al-Hukm fi al-Sahir
100. Kitab Qital ahl al-Baghy
n) Di dalam bab Siar dan Jihad :
101. Kitab al-Jizyah
102. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Auza’i
103. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Waqidi
104. Kitab Qital al-Mushrikin
105. Kitab al-Asara wa al-Ghulul
106. Kitab al-Sabq wa al-Ramy
107. Kitab Qasm al-Fai’ wa al-Ghanimah
o) Di dalam bab At’imah (Makan-makanan) :
108. Kitab al-Ta’am wa al-Sharab
109. Kitab al-Dahaya al-Kabir
110. Kitab al-Dahaya al-Saghir
111. Kitab al-Said wa al-Dhabaih
112. Kitab Dhabaih Bani Israil
113. Kitab al-Ashribah
p) Di dalam bab Qadaya (Kehakiman) :
114. Kitab Adab al-Qadi
115. Kitab al-Shahadat
116. Kitab al-Qada’ bi al-Yamin ma’a al-Shahid
117. Kitab al-Da’wa wa al-Bayyinat
118. Kitab al-Aqdiah
119. Kitab al-Aiman wa al-Nudhur
q) Di dalam bab ‘Itq (Pembebasan) dan lain-lain :
120. Kitab al-‘Itq
121. Kitab al-Qur’ah
122. Kitab al-Bahirah wa al-Sa’ibah
123. Kitab al-Wala’ wa al-Half
124. Kitab al-Wala’ al-Saghir
125. Kitab al-Mudabbir
126. Kitab al-Mukatab
127. Kitab ‘Itq Ummahat al-Aulad
128. Kitab al-Shurut
Di samping kitab-kitab di atas ada lagi kitab-kitab lain yang disenaraikan oleh al-Baihaqi sebagai kitab-kitab usul, tetapi ia juga mengandungi hukum-hukum furu’, seperti :-
1. Kitab Ikhtilaf al-Ahadith
2. Kitab Jima’ al-Ilm
3. Kitab Ibtal al-Istihsan
4. Kitan Ahkam al-Qur’an
5. Kitab Bayan Fard al-Lah, ‘Azza wa Jalla
6. Kitab Sifat al-Amr wa al-Nahy
7. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Shafi’i
8. Kitab Ikhtilaf al-‘Iraqiyin
9. Kitab al-Rad ‘ala Muhammad bin al-Hasan
10. Kitab ‘Ali wa ‘Abdullah
11. Kitab Fada’il Quraysh
Ada sebuah lagi kitab al-Shafi’i yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah iaitu “al-Mabsut”. Kitab ini diperkenalkan oleh al-Baihaqi dan beliau menamakannya dengan “al-Mukhtasar al-Kabir wa al-Manthurat”, tetapi pada pendapat setengah ulama kemungkinan ia adalah kitab “al-Um”.
sumber : http://islam.blogsome.com/category
: http://mutiaracahaya.wordpress.com/page/2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar