Bukti Kebenaran Al-Quran

Al-Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama, menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan (baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan 114 surah. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca QS 10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23).



Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan: Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88).



Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali jika ia memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin. Muhammad saw. sangat yakin akan wahyu-wahyu Tuhan, karena "Wahyu adalah informasi yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan."



Walaupun Al-Quran menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad, tapi fungsi utamanya adalah menjadi "petunjuk untuk seluruh umat manusia." Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa juga disebut sebagai syari'at. Syari'at, dari segi pengertian kebahasaan, berarti ' jalan menuju sumber air." Jasmani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun membutuhkan "air kehidupan." Di sini, syari'at mengantarkan seseorang menuju air kehidupan itu.



Dalam syari'at ditemukan sekian banyak rambu-rambu jalan: ada yang berwarna merah, yang berarti larangan; ada pula yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada yang hijau warnanya, yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Ini semua, persis sama dengan lampu-lampu lalulintas. Lampu merah tidak memperlambat seseorang sampai ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara pejalan dari mara bahaya. Demikian juga halnya dengan "lampu-lampu merah" atau larangan-larangan agama.



Kita sangat membutuhkan peraturan-peraturan lalulintas demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga dengan peraturan lalulintas menuju kehidupan yang lebih jauh, kehidupan sesudah mati. Di sini, siapakah yang seharusnya membuat peraturan-peraturan menuju perjalanan yang sangat jauh itu?



Manusia memiliki kelemahan-kelemahan. Antara lain, ia seringkali bersifat egoistis. Disamping itu, pengetahuannya sangat terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi menyusun peraturan lalulintas menuju kehidupan sesudah mati, maka diduga keras bahwa ia, di samping hanya akan menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat terbatas bahkan keliru, karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah kematian.



Jika demikian, yang harus menyusunnya adalah "Sesuatu" yang tidak bersifat egoistis, yang tidak mempunyai sedikit kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang Mahaluas. "Sesuatu" itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan peraturan yang dibuatnya itu dinamai "agama".



Sayang bahwa tidak semua manusia dapat berhubungan langsung secara jelas dengan Tuhan, guna memperoleh informasi-Nya. Karena itu, Tuhan memilih orang-orang tertentu, yang memiliki kesucian jiwa dan kecerdasan pikiran untuk menyampaikan informasi tersebut kepada mereka. Mereka yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul.



Karena sifat egoistis manusia, maka ia tidak mempercayai informasi-informasi Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi itu. Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia terpilih itu adalah Nabi-nabi yang mendapat tugas khusus dari Tuhan.



Untuk meyakinkan manusia, para Nabi atau Rasul diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. Bukti-bukti tersebut merupakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka --sebagai manusia biasa (bukan pilihan Tuhan)-- lakukan. Bukti-bukti tersebut dalam bahasa agama dinamai "mukjizat".



Para Nabi atau Rasul terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus untuk seluruh umat manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman.



Pengutusan ini juga memerlukan mukjizat. Dan karena sifat pengutusan itu, maka bukti kebenaran beliau juga tidak mungkin bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu harus bersifat universal, kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia. Di sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat.



Paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar bersumber dari Allah SWT.



Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir, Persia atau Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit." Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48).



Ketiga aspek yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita yang tidak memahami dan memiliki "rasa bahasa" Arab --karena keindahan diperoleh melalui "perasaan", bukan melalui nalar. Namun demikian, ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu pemahaman aspek pertama ini.



Seperti diketahui, seringkali Al-Quran "turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang bertolak belakang.



Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan secara sangat singkat sebagai berikut.



A. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Beberapa contoh, di antaranya:

Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;

Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;

Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali;

Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;

Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;

Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;

Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;

Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;

Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.



B. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.

Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;

Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;

Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;

Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;

Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;

Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali.



C. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.

Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;

Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;

Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali;

Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;

Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.



D. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.

Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;

Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali;

Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali;

Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.



E. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.

(1) Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.



(2) Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.



(3) Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.



Demikianlah sebagian dari hasil penelitian yang kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat di atas.



Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?



Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak ragam serta peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak mungkin dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini.



Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekah isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)" (perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan "ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui!



Kesemua aspek tersebut tidak dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya.



MEMBUMIKAN AL-QURAN

Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat

Dr. M. Quraish Shihab

Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996

Jln. Yodkali 16, Bandung 40124

Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038

mailto:mizan@ibm.net





Jumat, 02 Juli 2010

Prof .Dr. M. Aburrahman MA


Dalam kehidupan makhluk bernyawa kebersihan merupakan salah pokok dalam memelihara kelangsungan eksistensinya, sehingga tidak ada satupun makhluk kecuali berusaha untuk membersihkan dirinya, walaupun makhluk tersebut dinilai kotor. Pembersihan diri tersebut, secara fisik misalnya, ada yang menggunakan air, tanah, air dan tanah. Bagi manusia membersihkan diri tersebut dengan tanah dan air tidak cukup, tetapi ditambah dengan menggunakan dedaunan pewangi, malahan pada zaman modern sekarang menggunakan sabun mandi, bahkan untuk pembersih wajah ada sabun khusus dan lain sebagainya. Pada manusia konsep kebersihan, bukan hanya secara fisik, tetapi juga psikhis, sehingga dikenal istilah kebersihan jiwa, kebersihan hati, kebersihan spiritual dan lain sebagaianya.
Agama dan ajaran Islam menaruh perhatian amat tinggi pada kebersihan, baik lahiriah fisik maupun batiniyah psikis. Kebersihan lahiriyah itu tidak dapat dipisahkan dengan kebersihan batiniyah. Oleh karena itu, ketika seorang Muslim melaksanakan ibadah tertentu harus membersihkan terlebih dahulu aspek lahiriyahnya. Ajaran Islam yang memiliki aspek akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak ada kaitan dengan seluruh kebersihan ini. Hal ini terdapat dalam tata cara ibadah secara keseluruhan. Orang yang mau shalat misalnya, diwajibkan bersih fisik dan psikhisnya. Secara fisik badan, pakaian, dan tempat salat harus bersih, bahkan suci. Secara psikhis atau akidah harus suci juga dari perbuatan syirik. Manusia harus suci dari fahsya dan munkarat.

Dalam membangun konsep kebersihan, Islam menetapkan berbagai macam peristilahan tentang kebersihan. Umpamanya, tazkiyah, thaharah, nazhafah, dan fitrah, seperti dalam hadis yang memerintahkan khitan, sementara dalam membangun perilaku bersih ada istilah ikhlas, thib al-nafs, ketulusan kalbu, bersih dari dosa, tobat, dan lain-lain sehingga makna bersih amat holistik karena menyangkut berbagai persoalan kehidupan, baik dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, persoalannya ialah bagimana kebersihan dalam Islam dan apa konsep Islam mengkonsepsi kebersihan. Persoalan ini diajukan karena ketika Islam memiliki ajaran kebersihan yang amat lengkap, ternyata dalam aspek perilaku masyarakat Muslim belum sebagaimana yang dikehendaki ajaran Islam itu sendiri. Maka tidak heran bila orang sering bicara tentang kebersihan di negara-negara maju yang kebetulan non-Muslim amat mengagumkan. Diharapkan dengan tulisan ini dapat memberikan pencerahan terhadap masyarakat yang selama ini terkesan kurang memperhatikan aspek kebersihan dan belum sadar kebersihan yang menjadi bagian ajaran keimanan ini.

Aspek Kebersihan

Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan al-Sunnah. Dalam sumber ajaran tersebut, diterangkan bukan hanya aspek peristilahan yang digunakan tetapi juga ditemukan bagaimana sesungguhnya ajaran Islam menyoroti kebersihan.Untuk itu, maka perlu kajian tematik, sehingga ditemukan prinsip-prisnsipnya dan bagaimana sesungguhnya konsep kebersihan tersebut.

Memang, sebagai ajaran yang lengkap yang memiliki unsur-unsur akidah, syariah dan muamalah sudah semestinya konsep tersebut ada, lebih-lebih bila dilihat dari aspek maqashid al-Syariah yang termasuk aspek tahsini dan berkaitan dengan akhlak karimah.

1. Istilah yang digunakan

Sebagaimana disinggung al-Quran dan Sunnah banyak menggunakan istilah-istilah yang berkaitan dengan kebersihan atau kesucian. Dalam al-Quran ada istilah thaharah sebanyak 31 kata dan tazkiyah 59 kata. Dalam al-Quran istilah nazhafah, sementara dalam hadis kata nazhafah dapat kita lihat dalam riwayat bukan hadis, “al-Nazhafatu min al-Iman”,, walaupun hadis tersebut dipertanyakan keabsahannya.

2. Dalam implementasinya, maka istilah thaharah dan nazhafah ternyata kebersihan yang bersifat lahiriyah dan maknawiyah, sementara nazhafah atau fikih, istilah thaharah digunakan. Pada kitab-kitab klasik dikhusukan Bab al-Thaharah yang bisasanya disandingkan dengan Bab al-Najasah yang selanjutnya juga dibahas masalah air dan tanah, wudu, mandi, mandi janabat, tayamum, dan lain-lain. Namun demikian, ketika Allah menerangkan tentang penggunaan air untuk thaharah disandingkan pula dengan kesucian secara maknawiyah, Dimaksud dengan maknawiyah ialah kesucian dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil, sehingga dapat melaksanakan ibadah, seperti salat dan thawaf.

3. Makna kebersihan yang digunakan dalam Islam ternyata ada yang dilihat dari aspek kebersihan harta dan jiwa dengan menggunakan istilah tazkiyah. Umpamanya, ungkapan Allah dalam al-Quran ketika menyebutkan bahwa zakat yang seakar dengan tazkiyah, memang maksudnya untuk membersihkan harta, sehingga harta yang dizakati adalah bersih dan yang yang tidak dizakati dinilai kotor. Kebersihan dan kotor harta sebenarnya ada korelasinya dengan jiwa. Suatu fitrah adalah kebudayaan itu sendiri, sekaligus peradaban dan keyakinan.

Dengan demikian, maka konsep kebersihan dan kesucian yang berdasarkan keyakinan dan kebudayaan masing-masing ada nuansa, perbedaan, lidahnya; gajah, kerbau, dan babi yang kesohor makhluk “menjijikan” mandi di kubangan, dan demikian seterusnya. Dalam bahasa Indonesia terdapat kosa-kata kotor dan jijik serta kebalikannya, bersih dan suci. Namun, semua itu baru pada tingkat lahiriyah. Lalu, bagimana Islam memberi makna kebersihan tersebut. Justeru yang menarik lagi dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar, bahkan melakukannya sendiri, bukan hanya membersihkan badan kita, tetapi pakaian, rumah, halaman, kendaraan dengan menggunakan istilah mencuci pakaian, kendaraan dan lain-lain. Mencuci diambil dari kata “mensucikan”, membikin suci yang diidentikkan dengan bersih. Ini artinya, apapun yang ada harus dibersihkan atau disucikan.



Kebersihan dalam Islam

Hissiyah dan jasmaniah

Bersih secara konkrit adalah kebersihan dari kotoran atau sesuatu yang dinilai kotor. Kotoran yang melekat pada badan, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya yang mengakibatkan seseorang tak nyaman dengan kotoran tersebut. Umpamanya, badan yang terkena tanah atau kotoran tertentu, maka dinilai kotor secara jasmaniah, tidak selamanya tidak suci. Jadi, ada perbedaan antara bersih dan suci. Mungkin ada orang yang tampak bersih, tetapi tak suci.

Hissiyah dan maknawiyah

Al-Quran dan hadis banyak menggunakan lafal atau kosa-kata thaharah yang mengindikasikan pada kesucian badan dari kotoran atau najis atau sesuatu yang menimbulkan ketidaknyamanan jasmaniah seseorang. Dalam Surat al-Maidah: 6 dan surat al-Nisa: 43, ayat yang mewajibkan wudlu dan atau mandi sebelum shalat, misalnya tampak mengandung dua makna sekaligus, yaitu thaharah secara hissiyah -jasmaniah (konkrit-nyata) karena dibersihkan dengan air dan thaharah maknawiah (abstrak) karena dibersihkan dengan air atau tanah ketika air itu tidak ada. Dikatakan mengandung dua makna sekaligus karena pada ayat itu disebutkan juga makna, “Sesungguhnya Allah adalah pengampun dan penyayang” pada akhir surat al-Nisa: 43 karena wudu dan mandi juga shalat adalah jalan membersihkan dosa. Kesucian secara rohani karena dia sudah dengan ketaatan, istigfar dan taubat kepada Allah. Pada ibadah-ibadah tersebut. Memang dalam kehidupan keseharian makna suci ini, sering diungkapkan kepada seseorang yang sedang haid atau dalam keadaan junub, misalnya. Orang yang sudah bersih atau suci dari haid, disebut, “Hatta yath-hurna” (al-Baqarah: 222) bila sudah mandi junub, bukan hanya dicuci.

Sebagimana disebutkan terdahulu bahwa kebalikan dari thaharah adalah najasah atau najis. Dalam ungkapan lain ada juga istilah danas, kotor Dalam Islam istilah najis terkonsep dalam fuqaha. Mereka menetapkan bab tertentu tentang thaharah dan najis tersebut. Dahulu di kalangan fuqaha, najis itu sendiri ditetapkan sebagai berikut: Najis mughallzhah dan mukhaffafah. Dikatakan mughallazhah karena dalam membersihkannya di samping mengunakan air sebanyak tujuh kali juga najis yang dengan sekali atau dua kali cucian sudah cukup tidak lagi memerlukan tanah sebagai tambahannya.

Ketika Islam berbicara kesucian lahirah dan jasmaniah yang pada Mukhtasar al-Shahih al-Bukhari – Tajrid al-Sharih sebagai berikut:

a. Dalam Kitab al-Wudu ada 89 hadis,

b. Kitab al-Ghusli ada 20 hadis,

c. Membicarakan air dan tanah sebagai alat bersuci. Bersuci dari kotoran dan najis, sehingga seseorang dapat melakukan salat, utamanya, dengan nyaman dan baik. Namun, di situ pun dibicarakan bahwa berwudu itu dapat mensucikan seseorang dari perbuatan dosa. Ketika seseorang wudu berkumur dan memasukkan air akan ke hidung, dan lain-lain yang semuanya bersifat jasmani. Namun demikian, diterangkan pula bahwa orang berwudu dapat menghilangkan dosa (kecil). Dengan demikian, maka bersih dalam Islam dilihat dari aspek hissiyah dan jasmaniah adalah tidak bisa dipisahkan dengan kesucian rohaniyah. Bersih belum tentu suci, tetapi suci bisa sudah sekaligus juga bersih, walaupun tidak selamanya begitu. Dalam Islam kebersihan adalah kesucian itu sendiri dan kesucian adalah kebersihan, walaupun istilah ini tidak sama sekali merupakan garis lurus. Mungkin secara jasmaniyah bersih, tetapi belum tentu suci sekaligus karena dia orang yang tak pernah berwudu atau sedang dalam keadaan hadast. Namun, seringkali kebersihan dan kesucian tak berimbang. Ada yang asal bersih di rumah, tapi tak bertanggung jawab atas kebersihan jalan, sungai, halaman orang, dan lain-lain.

Maknawiyah

Agaknya perlu dielaborasi di sini tentang kesucian secara maknawi yang banyakmenggunakan kata tazkiyah yang makna asalnya berarti berkembang dan berkah. Pada dasarnya kebersihan maknawiyah sudah disinggung di atas, tetapi dalam Islam juga menggunakan istilah tazkiyah dalam arti tazkiyat al-nafsi sama dengan thaharat al-nafs dan tazkiyat al-mali.

a. Tazkiyah wa thaharah al-Nafs

Kesucian jiwa adalah kesucian karena ia sebagai orang beriman Al-Quran dan Sunnah atau ajaran Islam itu berfungsi sebagai tazkiyah, penyucian dari kesesatan diri. Maka muwahhid (orang yang bertauhid) adalah orang yang suci juga. Untuk itu, maka kebalikannya adalah najis, sebagai mana disebut al-Quran bahwa orang musyrik itu najis, sebagaimana diterangkan dalam dlam surat al-Taubah: 28, “Innama al-musyrikunan najasun fala yaqraub al-masjidal haram ba’da amihim hadza…” sebaliknya orang beriman adalah suci jiwanya dengan akidah yang benar. Tanah Mekah dan Madinah bgi umat Islam adalah Tanah suci karena tidak boleh diinjak oleh orang kafir. Kesucian jiwa berkaitan juga dengan akhlak mulia dan taubat. Ketika seseorang bertaubat berarti mensucikan dirinya dari segala dosa yang dilakukannya. Penyucian dosa dengan istigfar dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Bagi dosa yang memerlukan hokum pidana Islam, maka dengan melalui proses eksekusi pidana itu.

b. Tazkiyat wa thaharat al-mal

Kesucian harta adalah dimensi lain dari dimensi kesucian dalam Islam, tetapi juga di sini tidak selamanya bahwa menggunakan kata tazkiyah karena thuhratan atau thaharah. Namun, sebagaimana dimaklumi zakat disebut zakat karena mensucikan harta. Memang, dalam hal ini belum berimbang antara mensucikan badan atau masalah yang bersifat badaniyah dengan penyucian harta, padahal banyak cara penyucian harta ini, utamanya dengan zakat. Ongkos penyucian badan dan pemeliharaannya bila dihitung perbulan amat mahal. Mulai dari sikat gigi dan odolnya, pakaian, malahan dari kalangan tertentu ada yang sengaja mandi SPA dan Sauna, belum lagi dari kalangan “perempuan” tingkat tertentu, setiap bulan mengeluarkan dana tertentu untuk merawat wajah dan penataan rambutnya.

Untuk penyucian harta adalah dengan mengeluarkan zakat karena zakat itu sendiri artinya suci. Belum lagi dengan melalui sadaqah, infaq, wakaf, misalnya. Saat ini lembaga zakat membantu orang-orang kaya menegluarkan zakatnya, sehingga harta yang dimiliki mereka adalah harta yang suci. Allah dalam al-Quran surat al-Tubah: 103 menyatakan, yang artinya, “Ambillah dari harta mereka sadaqah (zakat), kau sucikan dan bersihkan mereka dengannya….).

Harta tak pernah dizakati adalah harta yang kotor, bahkan termasuk yaknizun al-zahab wa al-fidhdhah (al-Tubah: 34) sehingga akan membakar dirinya di neraka.

Kesimpulan

Kebersihan merupakan suatu yang amat fitri bagimakhluk hidum, utamanya makhluk bernyawa. Dalam ajaran Islam kebersihan saja belum cukup, tetapi harus disertai kesucian, Dalam kebrsihan yang ada kalanya menggunakan istilah thaharah atau tazkiyah semuanya berkaitan dengan kebersihan dan kecusian, baik hissiyah maupun ma’nawwiyah, bahkan digunakan lafal fitrah.

Konsep kebersihan yang amat jami (konprehensif) dalam Islam, belum dimaknasi secara kontekstual dalam rangkan membangun kebersihan dalam raga dan jiwanya. Maka dalam upaya membangun keseimbangan ini agaknya konseptualisasikebersihan dan kesucian harus digalakkan.

Adalah naïf jika hanya sebelah antara kebersihan dan kesucian. Ini barangkali yang mengakibatkan mengaapa orang Islam sering bersuci tetapi tidak bersih atau yang lain non-Muslim mereka tak suci tetapi bersih. Yang jelas Rasul adalah “Tokoh Kebersihan, Kesucian, dan Pelestarian Lingkungan”

Sumber : persis
:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar