Bukti Kebenaran Al-Quran

Al-Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama, menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan (baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan 114 surah. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca QS 10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23).



Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan: Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88).



Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali jika ia memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin. Muhammad saw. sangat yakin akan wahyu-wahyu Tuhan, karena "Wahyu adalah informasi yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan."



Walaupun Al-Quran menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad, tapi fungsi utamanya adalah menjadi "petunjuk untuk seluruh umat manusia." Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa juga disebut sebagai syari'at. Syari'at, dari segi pengertian kebahasaan, berarti ' jalan menuju sumber air." Jasmani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun membutuhkan "air kehidupan." Di sini, syari'at mengantarkan seseorang menuju air kehidupan itu.



Dalam syari'at ditemukan sekian banyak rambu-rambu jalan: ada yang berwarna merah, yang berarti larangan; ada pula yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada yang hijau warnanya, yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Ini semua, persis sama dengan lampu-lampu lalulintas. Lampu merah tidak memperlambat seseorang sampai ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara pejalan dari mara bahaya. Demikian juga halnya dengan "lampu-lampu merah" atau larangan-larangan agama.



Kita sangat membutuhkan peraturan-peraturan lalulintas demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga dengan peraturan lalulintas menuju kehidupan yang lebih jauh, kehidupan sesudah mati. Di sini, siapakah yang seharusnya membuat peraturan-peraturan menuju perjalanan yang sangat jauh itu?



Manusia memiliki kelemahan-kelemahan. Antara lain, ia seringkali bersifat egoistis. Disamping itu, pengetahuannya sangat terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi menyusun peraturan lalulintas menuju kehidupan sesudah mati, maka diduga keras bahwa ia, di samping hanya akan menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat terbatas bahkan keliru, karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah kematian.



Jika demikian, yang harus menyusunnya adalah "Sesuatu" yang tidak bersifat egoistis, yang tidak mempunyai sedikit kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang Mahaluas. "Sesuatu" itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan peraturan yang dibuatnya itu dinamai "agama".



Sayang bahwa tidak semua manusia dapat berhubungan langsung secara jelas dengan Tuhan, guna memperoleh informasi-Nya. Karena itu, Tuhan memilih orang-orang tertentu, yang memiliki kesucian jiwa dan kecerdasan pikiran untuk menyampaikan informasi tersebut kepada mereka. Mereka yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul.



Karena sifat egoistis manusia, maka ia tidak mempercayai informasi-informasi Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi itu. Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia terpilih itu adalah Nabi-nabi yang mendapat tugas khusus dari Tuhan.



Untuk meyakinkan manusia, para Nabi atau Rasul diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. Bukti-bukti tersebut merupakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka --sebagai manusia biasa (bukan pilihan Tuhan)-- lakukan. Bukti-bukti tersebut dalam bahasa agama dinamai "mukjizat".



Para Nabi atau Rasul terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus untuk seluruh umat manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman.



Pengutusan ini juga memerlukan mukjizat. Dan karena sifat pengutusan itu, maka bukti kebenaran beliau juga tidak mungkin bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu harus bersifat universal, kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia. Di sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat.



Paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar bersumber dari Allah SWT.



Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir, Persia atau Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit." Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48).



Ketiga aspek yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita yang tidak memahami dan memiliki "rasa bahasa" Arab --karena keindahan diperoleh melalui "perasaan", bukan melalui nalar. Namun demikian, ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu pemahaman aspek pertama ini.



Seperti diketahui, seringkali Al-Quran "turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang bertolak belakang.



Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan secara sangat singkat sebagai berikut.



A. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Beberapa contoh, di antaranya:

Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;

Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;

Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali;

Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;

Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;

Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;

Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;

Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;

Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.



B. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.

Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;

Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;

Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;

Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;

Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;

Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali.



C. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.

Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;

Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;

Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali;

Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;

Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.



D. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.

Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;

Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali;

Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali;

Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.



E. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.

(1) Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.



(2) Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.



(3) Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.



Demikianlah sebagian dari hasil penelitian yang kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat di atas.



Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?



Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak ragam serta peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak mungkin dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini.



Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekah isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)" (perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan "ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui!



Kesemua aspek tersebut tidak dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya.



MEMBUMIKAN AL-QURAN

Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat

Dr. M. Quraish Shihab

Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996

Jln. Yodkali 16, Bandung 40124

Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038

mailto:mizan@ibm.net





Sabtu, 01 Mei 2010

(bersambung ke bagian 4/4)

BAGIAN KEDUA: MEKAH, KA'BAH DAN QURAISY (3/4)
Muhammad Husain Haekal

Seperti ayahnya, Abd'd-Dar juga telah memegang pimpinan Ka'bah
dan kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Akan tetapi
anak-anak Abd Manaf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih
baik dan terpandang juga di kalangan masyarakatnya. Oleh
karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu Hasyim, Abd Syams,
Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan yang ada
di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy
berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain
membela golongan yang lain lagi.

Keluarga Abd Manaf mengadakan Perjanjian Mutayyabun dengan
memasukkan tangan mereka ke dalam tib, (yaitu bahan
wangi-wangian) yang dibawa ke dalam Ka'bah. Mereka bersumpah
takkan melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga Abd,d-Dar
mengadakan pula Perjanjian Ahlaf: Antara kedua golongan itu
hampir saja pecah perang yang akan memusnakan Quraisy, kalau
tidak cepat-cepat diadakan perdamaian. Keluarga Abd Manaf
diberi bagian mengurus persoalan air dan makanan, sedangkan
kunci, panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd'd-Dar.
Kedua belah pihak setuju, dan keadaan itu berjalan tetap
demikian, sampai pada waktu datangnya Islam.
Hasyim termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan.
Dialah yang memegang urusan air dan makanan. Dia mengajak
masyarakatnya seperti yang dilakukan oleh Qushayy kakeknya,
yaitu supaya masing-masing menafkahkan hartanya untuk memberi
makanan kepada pengunjung pada musim ziarah. Pengunjung
Baitullah, tamu Tuhan inilah yang paling berhak mendapat
penghormatan. Kenyataannya memang para tamu itu diberi makan
sampai mereka pulang kembali.

Peranan yang dipegang Hasyim tidak hanya itu saja, bahkan
jasanya sampai ke seluruh Mekah. Pernah terjadi musim tandus,
dia datang membawakan persediaan makanan, sehingga kembali
penduduk itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim
jugalah yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim dingin
dan musim panas. Perjalanan musim dingin ke Yaman, dan
perjalanan musim panas ke Suria.

Dengan adanya semua kenyataan ini keadaan Mekah jadi
berkembang dan mempunyai kedudukan penting di seluruh jazirah,
sehingga ia dianggap sebagai ibukota yang sudah diakui. Dengan
perkembangan serupa itu tidak ragu-ragu lagi anak-anak Abd
Manaf membuat perjanjian perdamaian dengan
tetangga-tetangganya. Hasyim sendiri membuat perjanjian
sebagai tetangga baik dan bersahabat dengan Imperium Rumawi
dan dengan penguasa Ghassan. Pihak Rumawi mengijinkan
orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian juga
Abd Syams membuat pula perjanjian dagang dengan Najasyi
(Negus). Selanjutnya Naufal dan Muttalib juga membuat
persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan pihak
Himyar di Yaman.

Mekah sekarang bertambah kuat dan bertambah makmur. Demikian
pandainya penduduk kota itu dalam perdagangan sehingga tak ada
pihak lain yang semasa yang dapat menyainginya. Rombongan
kafilah datang ke tempat itu dari segenap penjuru dan
berangkat lagi pada musim dingin dan musim panas. Di sekitar
tempat itu didirikan pasar-pasar guna menjalankan perdagangan
itu. Itu pula sebabnya mereka jadi cekatan sekali dalam
utang-piutang dan riba serta segala sesuatu yang berhubungan
dengan perdagangan. Tak ada yang teringat akan menyaingi
Hasyim yang kini sudah makin lanjut usianya itu dalam
kedudukannya sebagai penguasa Mekah. Hanya kemudian terbayang
oleh Umayya anak Abd Syams -sepupunya - bahwa sudah tiba
masanya kini ia akan bersaing. Tetapi dia tidak berdaya, dan
kedudukan itu tetap dipegang Hasyim. Sementara itu Umayya
telah meninggalkan Mekah dan selama sepuluh tahun tinggal di
Suria.

Pada suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Suria, ketika
Hasyim melalui Jathrib dilihatnya seorang wanita baik-baik dan
terpandang, muncul di tengah-tengah orang yang sedang
mengadakan perdagangan dengan dia. Wanita itu ialah Salma anak
'Amr dari kabilah Khazraj. Hasyim merasa tertarik.
Ditanyakannya, adakah ia sedang dalam ikatan dengan laki-laki
lain? Setelah diketahui bahwa dia seorang janda dan tidak mau
kawin lagi kecuali bila ia memegang kebebasan sendiri, Hasyim
lalu melamarnya. Dan wanita itupun menerima, karena dia
mengetahui kedudukan Hasyim di tengah-tengah masyarakatnya.

Beberapa waktu lamanya ia tinggal di Mekah dengan suaminya.
Kemudian ia kembali ke Jathrib. Di kota ini ia melahirkan
seorang anak yang diberi nama Syaiba.

Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan musim panas ke
Ghazza (Gaza). Hasyim meninggal dunia. Kedudukannya digantikan
oleh adiknya, Muttalib. Sebenarnya Muttalib ini masih adik Abd
Syams. Tetapi dia sangat dihormati oleh masyarakatnya. Karena
sikapnya yang suka menenggang dan murah hati oleh Quraisy ia
dijuluki Al-Faidz', ("Yang melimpah"). Dengan keadaan Muttalib
yang demikian itu di tengah-tengah masyarakatnya, sudah tentu
segalanya akan berjalan tenteram sebagaimana mestinya.

Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya, anak
Hasyim itu. Ia pergi ke Jathrib. Dan karena anak itu sudah
besar, dimintanya kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan
kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke atas untanya
dan dengan begitu ia memasuki Mekah. Orang-orang Quraisy
menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka
lalu memanggilnya: Abd'l Muttalib (Budak Muttalib). "Hai,"
kata Muttalib. "Dia kemenakanku anak Hasyim yang kubawa dari
Jathrib." Tetapi sebutan itu sudah melekat pada pemuda
tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaiba
yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.

Pada mulanya Muttalib ingin sekali mengembalikan harta Hasyim
untuk kemenakannya. Tetapi Naufal menolak, lalu menguasainya.
Sesudah Abd'l-Muttalib mempunyai kekuatan ia meminta bantuan
kepada saudara-saudara ibunya di Jathrib terhadap tindakan
saudara ayahnya itu dengan maksud supaya miliknya dikembalikan
kepadanya. Untuk memberikan bantuan itu pihak Khazraj di
Jathrib mengirimkan delapan puluh orang pasukan perang. Dengan
demikian Naufal terpaksa mengembalikan harta itu.

Sekarang Abd'l-Muttalib sudah menempati kedudukan Hasyim.
Sesudah pamannya Muttalib, dialah yang mengurus pembagian air
dan persediaan makanan. Dalam mengurus dua jabatan ini
terutama urusan air - ia menemui kesulitan yang tidak sedikit.
Sampai saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Harith. Sedang
persediaan air untuk tamu - sejak terserapnya sumur Zamzam
didatangkan dari beberapa sumur yang terpencar-pencar sekitar
Mekah, yang kemudian diletakkan di sebuah kolam di dekat
Ka'bah. Anak yang banyak itu akan merupakan bantuan besar dan
memudahkan pekerjaan serupa ini serta pengawasannya sekaligus.
Sebaliknya, kalau Abd'l-Muttalib harus memikul jabatan
penyediaan air dan makanan sedang anak hanya Harith
satu-satunya, tentu hal ini akan terasa berat sekali. Ini
jugalah yang lama menjadi pikiran.
Orang-orang Arab masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang
telah dicetuskan oleh Mudzadz bin Amr beberapa abad yang lalu.
Menjadi harapan mereka selalu andaikata sumur itu masih tetap
ada. Dan sesuai dengan kedudukannya Abd'l-Muttalib pun tentu
lebih banyak lagi memikirkan dam mengharapkan hal itu.
Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam tidurnya
seolah ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang
pernah menyembur di kaki Ismail neneknya dulu itu. Demikian
mendesaknya suara itu dengan menunjukkan sekali letak sumur
itu. Dan diapun memang gigih sekali ingin mencari letak Zamzam
tersebut, sampai achirnya diketemukannya juga, yaitu terletak
antara dua patung: Isaf dan Na'ila.

Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya, Harith.
Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas
dan pedang Mudzadz mulai tampak. Sementara itu orang-orang
lalu mau mencampuri Abd'l-Muttalib dalam urusan sumur itu
serta apa yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi
Abd'l-Muttalib berkata:

"Tidak! Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku
dengan kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan permainan
qid-h (anak panah). Dua anak panah buat Ka'bah, dua buat aku
dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat
bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa."

Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada
juru qid-h yang biasa melakukan itu di tempat Hubal di
tengah-tengah Ka'bah. Anak panah Quraisy ternyata tidak
keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat Abd'l-Muttalib dan dua
buah pangkal pelana emas buat Ka'bah. Pedang-pedang itu oleh
Abd'l-Muttalib dipasang di pintu Ka'bah, sedang kedua pelana
emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. Abd'l Muttalib
meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu, sesudah
sumur Zamzam dapat berjalan lancar.

Karena tidak banyak anak, Abd'l-Muttalib di tengah-tengah
masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang akan
dapat membantunya. Ia bernadar; kalau sampai beroleh sepuluh
anak laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak
lagi seperti ketika ia menggali sumur Zamzam dulu, salah
seorang di antaranya akan disembelih di Ka'bah sebagai kurban
untuk Tuhan. Tepat juga anaknya yang laki-laki akhirnya
mencapai sepuluh orang dan takdirpun menentukan pula sesudah
itu tidak beroleh anak lagi.

Dipanggilnya semua anak-anaknya dengan maksud supaya dapat
memenuhi nadarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi
kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing
di atas qid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh
Abd'l-Muttalib dan dibawanya kepada juru qid-h di tempat
berhala Hubal di tengah-tengah Ka'bah.
Apabila sedang menghadapi kebingungan yang luarbiasa,
orang-orang Arab masa itu lalu minta pertolongan juru qid-h
supaya memintakan kepada Maha Dewa Patung itu dengan jalan
(mengadu nasib) melalui qid-h. Abdullah bin Abd'l-Muttalib
adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat dicintai.

Setelah juru qid-h mengocok anak panah yang sudah dicantumi
nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal
untuk kemudian disembelih oleh sang ayah, maka yang keluar
adalah nama Abdullah. Dituntunnya anak muda itu oleh
Abd'l-Muttalib dan dibawanya untuk disembelih ditempat yang
biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat Zamzam yang
terletak antara berhala Isaf dengan Na'ila.
Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy serentak sepakat
melarangnya supaya jangan berbuat, dan atas pembatalan itu
supaya memohon ampun kepada Hubal. Sekalipun mereka begitu
mendesak, namun Abd'l-Muttalib masih ragu-ragu juga.
Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat supaya
sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari suku
Makhzum berkata: "Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan
harta kita, kita tebuslah."

Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat
akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib yang sudah biasa
memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan
mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya
menangguhkan sampai besok.

"Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang dukun.

"Sepuluh ekor unta."

"Kembalilah ke negeri kamu sekalian," kata dukun itu.
"Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya itu
diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak
kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan."

Merekapun menyetujui.

Setelah yang demikian ini dilakukan ternyata anak panah itu
keluar atas nama Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta itu
sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak panah
keluar atas nama unta itu. Sementara itu orang-orang Quraisy
berkata kepada Abd'l-Muttalib - yang sedang berdoa kepada
tuhannya: "Tuhan sudah berkenan."

"Tidak," kata Abd'l-Muttalib. "Harus kulakukan sampai tiga
kali." Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah itupun tetap
keluar atas nama unta itu juga. Barulah Abd'l-Muttalib merasa
puas setelah ternyata sang dewa berkenan. Disembelihnya unta
itu dan dibiarkannya begitu tanpa dijamah manusia atau
binatang.

Dengan begitu itulah buku-buku biografi melukiskan.
Digambarkannya beberapa macam adat-istiadat orang Arab,
kepercayaan serta cara-cara mereka melakukan upacara
kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan sekaligus betapa mulianya
kedudukan Mekah dengan Rumah Sucinya itu di tengah-tengah
tanah Arab. At-Tabari menceritakan - sehubungan dengan kisah
penebusan ini - bahwa pernah ada seorang wanita Islam bernadar
bahwa bila maksudnya terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia
akan menyembelih anaknya. Ternyata kemudian maksudnya
terkabul. Ia pergi kepada Abdullah bin Umar. Orang ini tidak
memberikan pendapat. Kemudian ia pergi kepada Abdullah bin
Abbas yang ternyata memberikan fatwa supaya ia menyembelih
seratus ekor unta, seperti halnya dengan penebusan Abdullah
anak Abd'l-Muttalib. Tetapi Marwan - penguasa Medinah ketika
itu - merasa heran sekali setelah mengetahui hal itu. "Nadar
tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa," katanya.

Kedudukan Mekah dengan status Rumah Sucinya itu menyebabkan
beberapa daerah lain yang jauh-jauh juga membuat rumah-rumah
ibadat sendiri-sendiri, dengan maksud mengalihkan perhatian
orang dari Mekah dan Rumah Sucinya. Di Hira pihak Ghassan
mendirikan rumah suci, Abraha al-Asyram membangun rumah suci
di Yaman. Tetapi bagi orang Arab itu tak dapat menggantikan
Rumah Suci yang di Mekah, juga tak dapat memalingkan mereka
dari Kota Suci itu. Bahkan sampai demikian rupa Abraha
menghiasi rumah sucinya yang di Yaman, dengan membawa
perlengkapan yang paling mewah yang kira-kira akan menarik
orang-orang Arab - bahkan orang-orang Mekah sendiri - ke
tempat itu.
Akan tetapi setelah ternyata bahwa tujuan orang-orang Arab itu
hanya Rumah Purba itu juga, dan orang-orang Yaman sendiripun
meninggalkan rumah yang dibangunnya itu serta menganggap
ziarah mereka tidak sah kalau tidak ke Mekah, maka sekarang
tak ada jalan lain bagi penguasa Negus itu kecuali ia harus
menghancurkan rumah Ibrahim dan Ismail itu. Dengan pasukan
yang besar didatangkan dari Abisinia dia sudah mempersiapkan
perang dan dia sendiri di depan sekali di atas seekor gajah
besar.

Tatkala pihak Arab mendengar hal itu, besar sekali
kekuatirannya akan akibat yang mungkin ditimbulkan karenanya.
Suatu hal yang luarbiasa bagi mereka, kedatangan seorang
laki-laki Abisinia akan menghancurkan rumah suci mereka dan
tempat berhala-berhala mereka. Seorang laki-laki bernama
Dhu-Nafar - salah seorang bangsawan dan terpandang di Yaman -
tampil ke depan mengerahkan masyarakatnya dan orang Arab
lainnya yang bersedia berjuang melawan Abraha serta maksudnya
yang hendak menghancurkan Baitullah. Tetapi dia tak dapat
menghalangi Abraha. Malah dia sendiri terpukul dan menjadi
tawanan. Nasib yang demikian itu juga yang menimpa Nufail bin
Habib al-Khath'ami ketika ia mengerahkan masyarakatnya dari
kabilah Syahran dan Nahis, malah dia sendiri yang tertawan,
yang kemudian menjadi anggota pasukannya dan menjadi penunjuk
jalan. Ketika Abraha sampai di Ta'if penduduk tempat itu
mengatakan, bahwa rumah suci mereka bukanlah rumah suci yang
dimaksudkan Abraha. Itu adalah rumah Lat. Kemudian ia diantar
oleh orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan ke Mekah.

Bila Abraha sudah mendekati Mekah dikirimnya pasukan berkuda
sebagai kurir. Dari Tihama mereka dapat membawa harta benda
Quraisy dan yang lain-lain, di antaranya seratus ekor unta
kepunyaan Abd'l-Muttalib bin Hasyim. Pada mulanya orang-orang
Quraisy bermaksud mengadakan perlawanan. Tapi kemudian
berpendapat, bahwa mereka takkan mampu. Sementara itu Abraha
sudah mengirimkan salah seorang pengikutnya sebagai utusan
bernama Hunata dan Himyar untuk menemui pemimpin Mekah. Ia
diantar menghadap Abd'l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia
menyampaikan pesan Abraha, bahwa kedatangannya bukan akan
berperang melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau Mekah
tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah.

Begitu Abd'l-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak bermaksud
berperang, ia pergi ke markas pasukan Abraha bersama Hunata,
bersama anak-anaknya dan beberapa pemuka Mekah lainnya.
Kedatangan delegasi Abd'l-Muttalib ini disambut baik oleh
Abraha, dengan menjanjikan akan mengembalikan unta
Abd'l-Muttalib. Akan tetapi segala pembicaraan mengenai Ka'bah
serta supaya menarik kembali maksudnya yang hendak
menghancurkan tempat suci itu ditolaknya belaka. Juga tawaran
delegasi Mekah yang akan mengalah sampai sepertiga harta
Tihama baginya, ditolak. Abd'l-Muttalib dan rombongan kembali
ke Mekah. Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu
dan pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari Abraha dan
pasukannya yang akan memasuki kota suci dan menghancurkan
Rumah Purba itu.
(bersambung ke bagian 4/4)

---------------------------------------------
S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D

oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980

Seri PUSTAKA ISLAM No.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar