Bukti Kebenaran Al-Quran

Al-Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama, menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan (baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan 114 surah. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca QS 10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23).



Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan: Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88).



Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali jika ia memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin. Muhammad saw. sangat yakin akan wahyu-wahyu Tuhan, karena "Wahyu adalah informasi yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan."



Walaupun Al-Quran menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad, tapi fungsi utamanya adalah menjadi "petunjuk untuk seluruh umat manusia." Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa juga disebut sebagai syari'at. Syari'at, dari segi pengertian kebahasaan, berarti ' jalan menuju sumber air." Jasmani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun membutuhkan "air kehidupan." Di sini, syari'at mengantarkan seseorang menuju air kehidupan itu.



Dalam syari'at ditemukan sekian banyak rambu-rambu jalan: ada yang berwarna merah, yang berarti larangan; ada pula yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada yang hijau warnanya, yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Ini semua, persis sama dengan lampu-lampu lalulintas. Lampu merah tidak memperlambat seseorang sampai ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara pejalan dari mara bahaya. Demikian juga halnya dengan "lampu-lampu merah" atau larangan-larangan agama.



Kita sangat membutuhkan peraturan-peraturan lalulintas demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga dengan peraturan lalulintas menuju kehidupan yang lebih jauh, kehidupan sesudah mati. Di sini, siapakah yang seharusnya membuat peraturan-peraturan menuju perjalanan yang sangat jauh itu?



Manusia memiliki kelemahan-kelemahan. Antara lain, ia seringkali bersifat egoistis. Disamping itu, pengetahuannya sangat terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi menyusun peraturan lalulintas menuju kehidupan sesudah mati, maka diduga keras bahwa ia, di samping hanya akan menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat terbatas bahkan keliru, karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah kematian.



Jika demikian, yang harus menyusunnya adalah "Sesuatu" yang tidak bersifat egoistis, yang tidak mempunyai sedikit kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang Mahaluas. "Sesuatu" itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan peraturan yang dibuatnya itu dinamai "agama".



Sayang bahwa tidak semua manusia dapat berhubungan langsung secara jelas dengan Tuhan, guna memperoleh informasi-Nya. Karena itu, Tuhan memilih orang-orang tertentu, yang memiliki kesucian jiwa dan kecerdasan pikiran untuk menyampaikan informasi tersebut kepada mereka. Mereka yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul.



Karena sifat egoistis manusia, maka ia tidak mempercayai informasi-informasi Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi itu. Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia terpilih itu adalah Nabi-nabi yang mendapat tugas khusus dari Tuhan.



Untuk meyakinkan manusia, para Nabi atau Rasul diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. Bukti-bukti tersebut merupakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka --sebagai manusia biasa (bukan pilihan Tuhan)-- lakukan. Bukti-bukti tersebut dalam bahasa agama dinamai "mukjizat".



Para Nabi atau Rasul terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus untuk seluruh umat manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman.



Pengutusan ini juga memerlukan mukjizat. Dan karena sifat pengutusan itu, maka bukti kebenaran beliau juga tidak mungkin bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu harus bersifat universal, kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia. Di sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat.



Paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar bersumber dari Allah SWT.



Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir, Persia atau Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit." Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48).



Ketiga aspek yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita yang tidak memahami dan memiliki "rasa bahasa" Arab --karena keindahan diperoleh melalui "perasaan", bukan melalui nalar. Namun demikian, ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu pemahaman aspek pertama ini.



Seperti diketahui, seringkali Al-Quran "turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang bertolak belakang.



Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan secara sangat singkat sebagai berikut.



A. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Beberapa contoh, di antaranya:

Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;

Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;

Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali;

Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;

Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;

Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;

Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;

Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;

Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.



B. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.

Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;

Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;

Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;

Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;

Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;

Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali.



C. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.

Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;

Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;

Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali;

Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;

Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.



D. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.

Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;

Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali;

Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali;

Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.



E. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.

(1) Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.



(2) Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.



(3) Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.



Demikianlah sebagian dari hasil penelitian yang kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat di atas.



Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?



Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak ragam serta peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak mungkin dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini.



Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekah isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)" (perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan "ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui!



Kesemua aspek tersebut tidak dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya.



MEMBUMIKAN AL-QURAN

Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat

Dr. M. Quraish Shihab

Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996

Jln. Yodkali 16, Bandung 40124

Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038

mailto:mizan@ibm.net





Sabtu, 01 Mei 2010

(bersambung ke bagian 6)

Characters: 10193
Lines: 197
Words: 1320
Sentences: 210
Paragraphs: 175
PRAKATA (5/6)
ILMU DAN LITERATUR BARAT

Pemuda-pemuda itu telah menghindarkan diri dari pemikiran
tentang agama-agama itu semuanya, juga tentang risalah Islam
dan pembawanya. Lebih-lebih lagi mereka menghindarkan diri
itu karena ilmu pengetahuan positif dan filsafat positivisma
yang mereka lihat mengatakan bahwa masalah-masalah agama
berada di luar logika dan tidak masuk ke dalam lingkungan
pemikiran ilmiah, dan segala yang berhubungan dengan itu,
dalam bentuk pemikiran metafisika juga sama sekali tidak
termasuk dalam metoda ilmiah. Kemudian mereka melihat adanya
pemisahan yang begitu jelas dan tajam antara gereja dan
negara di Barat, serta melihat negara-negara yang sudah
menentukan dalam undang-undang dasarnya, bahwa kepala negara
adalah pelindung Protestan atau Katolik, atau menentukan
bahwa agama negara yang resmi adalah Kristen, dengan maksud
supaya dengan demikian hari-hari besar yang berhubungan
dengan itu tidak bertambah banyak. Bertambah kuat mereka
bertahan dalam pemikiran ilmiah dan segala yang berhubungan
dengan itu, perhatian merekapun akan bertambah besar pula
terhadap masalah-masalah filsafat, ilmu dan budaya.

Setelah tiba masanya mereka harus berpindah dari dunia studi
ke tengah-tengah kehidupan praktis, kehidupan itu membuat
mereka lebih sibuk daripada hanya memikirkan
masalah-masalah, yang tadinya sudah mereka tinggalkan. Maka
arah pemikiran itu masih tetap dalam arus yang pertama:
melihat kebekuan berpikir itu dengan rasa kasihan dan sinis-
Ia terus menghirup udara pemikiran Barat dan filsafat Barat,
yang dirasakannya begitu lejat, sehingga bertambah kagum ia,
bertambah kuat bertahan atas apa yang sudah diperolehnya
itu.

Memang tak dapat disangkal, bahwa dewasa ini Timur sangat
perlu sekali menghirup udara Barat dalam cara berpikir,
dalam ilmu dan budaya. Dunia Islam di Timur dewasa ini sudah
terputus dari Islam masa lampau oleh adanya kebekuan
berpikir dan fanatisma selama berabad-abad. Cara berpikir
masa lampau yang sehat sudah begitu tebal tertimbun oleh
kebodohan dan serba prasangka terhadap segala yang baru.
Maka tak ada jalan lain, bagi yang ingin mengikis semua
timbunan itu, ia harus bersandar pada bentuk-bentuk
pemikiran dunia yang lebih baru, supaya dengan demikian
dapat mencapai masa kini yang cemerlang serta peninggalan
masa lampau yang gemilang.
USAHA-USAHA MODERNISASI DUNIA ISLAM

Sudah sepantasnya kalau kita mengatakan kepada Barat, bahwa
penyelidikan-penyelidikan berharga yang dilakukan oleh
sarjana-sarjana Barat dewasa ini tentang sejarah dan
studi-studi Islam dan Dunia Timur, telah membuka jalan baru
bagi pemuda-pemuda Islam sendiri dan pemuda-pemuda di Timur
dalam memperbanyak bahan-bahan penyelidikan tentang studi
itu. Dan harapan akan sampai kepada kebenaranpun lebih besar
pula. Dengan sendirinya mereka akan lebih mudah memahami
jiwa Islam dan jiwa Timur. Oleh karena orientasi baru itu
sudah dimulai dari Barat, maka pemuda-pemuda itu harus
mengikutinya terus sambil mengadakan koreksi atas
kesalahan-kesalahan yang ada, lalu menanamkan jiwa yang
sebenarnya hidup dalam sejarah, diteruskan sampai ke masa
kini. Bukan hanya sebagai studi dan penyelidikan saja,
tetapi juga harus dilihat sebagai suatu peninggalan rohani
dan mental yang patut diwakili oleh para pewarisnya;
penerangan harus ditambah dan diperbanyak, sehingga
kebenaran yang tersembunyi itu akan tampak lebih jelas.

Dewasa ini banyak sudah pemuda-pemuda yang mengadakan
penyelidikan-penyelidikan dengan metoda ilmiah yang
sebenarnya. Kalangan Orientalis sendiripun mendukung
usaha-usaha mereka dan sangat menghargai jasa-jasa mereka
itu.
MISI PENGINJIL DAN GOLONGAN YANG BERPIKIRAN BEKU

Sementara kerja-sama ilmiah yang seharusnya akan memberikan
hasil yang baik ini lahir, tiba-tiba timbul pula kegiatan
pihak gereja Kristen melakukan serangkaian serangan terhadap
Islam dan terhadap Muhammad demikian rupa, tidak kurang dan
apa yang kita sebutkan tadi. Di samping itu pihak
imperialisma Baratpun mendukung pula kegiatan ini, dengan
segala kemampuan yang ada padanya, atas nama kemerdekaan
berpikir. Padahal mereka yang melakukan serangan dan kecaman
itu telah keluar meninggalkan negerinya sendiri, mereka
terpisah dari apa yang mereka namakan ,peneguhan iman, dalam
jiwa saudara-saudara mereka seagama itu. Juga
penganjur-penganjur kebekuan berpikir (jumud) di kalangan
kaum Muslimin sendiri telah mendapat dukungan imperialisma
pula. Selanjutnya tangan imperialisma ini juga yang
memberikan dorongan kepada apa saja yang dapat diselundupkan
ke dalam Islam - dan yang sebenarnya bukan dari Islam - dan
ke dalam sejarah hidup Rasul, berupa dongengan-dongengan
yang tak masuk akal dan bertentangan dengan selera. Ia
memberikan dorongan kepada usaha-usaha orang yang mengecam
Islam dan mengecam Muhammad dengan apa saja yang dapat
dimasukkan ke dalam Islam dan ke dalam sejarah Rasul.
TERPIKIR MENULIS BUKU INI

Tugas pekerjaan saya memberi kesempatan kepada saya melihat
peristiwa-peristiwa itu pada beberapa daerah Islam sebelah
timur, bahkan di seluruh daerah Islam, serta mempelajari
adanya maksud yang ingin mengikis habis kehidupan moral
daerah-daerah itu dengan jalan membasmi kemerdekaan
berfikir, kebebasan menyelidiki demi kebenaran itu. Terasa
oleh saya bahwa saya memikul suatu kewajiban dalam hal ini.
Maksud yang menjadi tujuan rencana itu, yang sebenarnya akan
membahayakan seluruh umat manusia - bukan hanya membahayakan
Islam dan dunia Timur saja - harus dipatahkan. Apatah
kiranya bencana yang lebih besar menimpa umat manusia
daripada kekerdilan dan kebekuan berpikir, yang sepanjang
sejarah lebih dari separohnya telah menimpa peradaban.

Karena itu terpikir oleh saya -dan lama sekali saya
memikirkan hal itu- yang akhirnya mengantarkan pemikiran
saya itu kepada suatu studi tentang kehidupan Muhammad,
pembawa risalah Islam itu, tentang sasaran kecaman pihak
Kristen di satu segi, dan tentang kebekuan berpikir kaum
Muslimin sendiri dari segi lain. Akan tetapi studi ini
hendaknya bersifat ilmiah, sejalan dengan metoda modern di
Barat, demi kebenaran, dan untuk kebenaran semata.

Saya mulai dengan membahas sejarah hidup Muhammad. Saya
ulangi lagi dengan memeriksa Sirat ibn Hisyam, Tabaqat oleh
Ibn Sa'd, al-Maqhazi oleh al-Waqidi, demikian juga buku Syed
Ameer, Ali The Spirit of Islam. Kemudian tidak lepas saya
membaca buku-buku beberapa Orientalis, seperti Dermenghem
dan Washington Irving. Ketika pada musim dingin tahun 1932
saya berada di Luxor, saya pergunakan kesempatan ini dengan
mulai menulis. Ketika itu saya masih ragu-ragu akan
mengadakan penyelidikan yang akan saya kemukakan kepada para
pembaca ini sebagai suatu hasil pekerjaan saya sendiri,
sebab saya kuatir akan timbul heboh dari golongan yang masih
beku cara berpikirnya dan masih percaya kepada
bermacam-macam takhayul, sehingga kelak tujuan saya semula
akan terganggu karenanya.

Akan tetapi adanya sambutan yang saya terima, dorongan dan
sumbangan pikiran yang diberikan kepada saya oleh
pemuka-pemuka lembaga cukup menunjukkan adanya perhatian
terhadap penyelidikan yang akan saya lakukan ini. Saya jadi
berpikir lebih sungguh-sungguh lagi hendak melaksanakan niat
saya menulis sejarah hidup Muhammad ini lebih terperinci,
dengan cara yang ilmiah. Sekarang saya memikirkan jalan yang
paling baik dalam meneliti sejarah itu, sesuai dengan
kemampuan yang ada pada saya.
QUR'AN SEBAGAI SUMBER PALING OTENTIK

Sudah jelas buat saya, bahwa sumber yang paling otentik
dalam penulisan sejarah ini ialah Qur'an Suci. Segala
peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan Nabi, diberikan
isyaratnya dalam Qur'an, sehingga dapat dipakai sebagai
bahan penunjuk dalam mengadakan pembahasan itu. Dengan dasar
itu dapat pula diteliti apa yang terdapat dalam buku-buku
Hadis dan sejarah Nabi yang bermacam-macam itu. Saya pun
berusaha hendak mengetahui sesuatu dalam Qur'an yang ada
hubungannya dengan kehidupan Nabi. Suatu bantuan besar dalam
hal ini telah diberikan kepada saya oleh Tuan Ahmad Lutfi
as-Sayyid, pejabat pada Perpustakaan (Nasional) Mesir,
berupa buku-buku referensi, bab demi bab, tentang ayat-ayat
Qur'an yang berhubungan dengan kehidupan orang yang telah
diberi Wahyu Kitab Suci itu. Saya cocokkan ayat-ayat itu,
dan rupanya harus juga saya pelajari sebab-sebab turunnya,
waktu turunnya serta hubungannya satu sama lain. Harus saya
akui juga - sedemikian jauh saya berusaha - belum juga
bertemu dengan semua yang saya maksudkan. Kadang kitab-kitab
tafsir Qur'an memberi petunjuk ke arah ini, tapi kadang juga
tidak. Buku-buku seperti Asbab'n-Nuzul oleh al-Wahidi dan
An-Nasikh wal-Mansukh oleh Ibn Sallama hanya dengan singkat
saja membicarakan persoalan yang sangat berharga ini, yang
justru patut mendapat penelitian dan pembahasan.

Akan tetapi apa yang saya temukan dalam kedua buku itu dan
dalam buku-buku tafsir mengenai beberapa rnasalah, dapat
juga saya pergunakan sebagai bahan penelitian terhadap
buku-buku lain mengenai sejarah Nabi. Dalam kedua buku itu
dan dalam buku-buku tafsir tersebut saya temukan beberapa
hal yang patut sekali dikoreksi oleh ulama yang sudah
mendalami pengetahuan Qur'an dan Hadis serta mencocokkannya
kembali secara lebih teliti.


(bersambung ke bagian 6)

---------------------------------------------
S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D

oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980

Seri PUSTAKA ISLAM No.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar