Bukti Kebenaran Al-Quran

Al-Quran mempunyai sekian banyak fungsi. Di antaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya bertahap. Pertama, menantang siapa pun yang meragukannya untuk menyusun semacam Al-Quran secara keseluruhan (baca QS 52:34). Kedua, menantang mereka untuk menyusun sepuluh surah semacam Al-Quran (baca QS 11:13). Seluruh Al-Quran berisikan 114 surah. Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah saja semacam Al-Quran (baca QS 10:38). Keempat, menantang mereka untuk menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah dari Al-Quran (baca QS 2:23).



Dalam hal ini, Al-Quran menegaskan: Katakanlah (hai Muhammad) sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (QS 17 :88).



Seorang ahli berkomentar bahwa tantangan yang sedemikian lantang ini tidak dapat dikemukakan oleh seseorang kecuali jika ia memiliki satu dari dua sifat: gila atau sangat yakin. Muhammad saw. sangat yakin akan wahyu-wahyu Tuhan, karena "Wahyu adalah informasi yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan."



Walaupun Al-Quran menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad, tapi fungsi utamanya adalah menjadi "petunjuk untuk seluruh umat manusia." Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa juga disebut sebagai syari'at. Syari'at, dari segi pengertian kebahasaan, berarti ' jalan menuju sumber air." Jasmani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup, membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Ruhaninya pun membutuhkan "air kehidupan." Di sini, syari'at mengantarkan seseorang menuju air kehidupan itu.



Dalam syari'at ditemukan sekian banyak rambu-rambu jalan: ada yang berwarna merah, yang berarti larangan; ada pula yang berwarna kuning, yang memerlukan kehati-hatian; dan ada yang hijau warnanya, yang melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Ini semua, persis sama dengan lampu-lampu lalulintas. Lampu merah tidak memperlambat seseorang sampai ke tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara pejalan dari mara bahaya. Demikian juga halnya dengan "lampu-lampu merah" atau larangan-larangan agama.



Kita sangat membutuhkan peraturan-peraturan lalulintas demi memelihara keselamatan kita. Demikian juga dengan peraturan lalulintas menuju kehidupan yang lebih jauh, kehidupan sesudah mati. Di sini, siapakah yang seharusnya membuat peraturan-peraturan menuju perjalanan yang sangat jauh itu?



Manusia memiliki kelemahan-kelemahan. Antara lain, ia seringkali bersifat egoistis. Disamping itu, pengetahuannya sangat terbatas. Lantaran itu, jika ia yang diserahi menyusun peraturan lalulintas menuju kehidupan sesudah mati, maka diduga keras bahwa ia, di samping hanya akan menguntungkan dirinya sendiri, juga akan sangat terbatas bahkan keliru, karena ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah kematian.



Jika demikian, yang harus menyusunnya adalah "Sesuatu" yang tidak bersifat egoistis, yang tidak mempunyai sedikit kepentingan pun, sekaligus memiliki pengetahuan yang Mahaluas. "Sesuatu" itu adalah Tuhan Yang Mahaesa, dan peraturan yang dibuatnya itu dinamai "agama".



Sayang bahwa tidak semua manusia dapat berhubungan langsung secara jelas dengan Tuhan, guna memperoleh informasi-Nya. Karena itu, Tuhan memilih orang-orang tertentu, yang memiliki kesucian jiwa dan kecerdasan pikiran untuk menyampaikan informasi tersebut kepada mereka. Mereka yang terpilih itu dinamai Nabi atau Rasul.



Karena sifat egoistis manusia, maka ia tidak mempercayai informasi-informasi Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi itu. Mereka bahkan tidak percaya bahwa manusia-manusia terpilih itu adalah Nabi-nabi yang mendapat tugas khusus dari Tuhan.



Untuk meyakinkan manusia, para Nabi atau Rasul diberi bukti-bukti yang pasti dan terjangkau. Bukti-bukti tersebut merupakan hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat mereka --sebagai manusia biasa (bukan pilihan Tuhan)-- lakukan. Bukti-bukti tersebut dalam bahasa agama dinamai "mukjizat".



Para Nabi atau Rasul terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Ini jelas berbeda dengan misi Nabi Muhammad saw. Beliau diutus untuk seluruh umat manusia, di mana dan kapan pun hingga akhir zaman.



Pengutusan ini juga memerlukan mukjizat. Dan karena sifat pengutusan itu, maka bukti kebenaran beliau juga tidak mungkin bersifat lokal, temporal, dan material. Bukti itu harus bersifat universal, kekal, dapat dipikirkan dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia. Di sinilah terletak fungsi Al-Quran sebagai mukjizat.



Paling tidak ada tiga aspek dalam Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah benar bersumber dari Allah SWT.



Ketiga aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir, Persia atau Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit." Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48).



Ketiga aspek yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita yang tidak memahami dan memiliki "rasa bahasa" Arab --karena keindahan diperoleh melalui "perasaan", bukan melalui nalar. Namun demikian, ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu pemahaman aspek pertama ini.



Seperti diketahui, seringkali Al-Quran "turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata yang bertolak belakang.



Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan secara sangat singkat sebagai berikut.



A. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Beberapa contoh, di antaranya:

Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;

Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;

Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali;

Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;

Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;

Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;

Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;

Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;

Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.



B. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.

Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;

Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;

Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;

Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;

Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;

Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali.



C. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.

Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;

Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;

Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali;

Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;

Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.



D. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.

Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;

Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali;

Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali;

Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.



E. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.

(1) Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.



(2) Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.



(3) Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.



Demikianlah sebagian dari hasil penelitian yang kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat di atas.



Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?



Setiap orang yang pernah berkunjung ke Museum Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak ragam serta peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak mungkin dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini.



Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekah isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)" (perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan "ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini. Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha Mengetahui!



Kesemua aspek tersebut tidak dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya.



MEMBUMIKAN AL-QURAN

Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat

Dr. M. Quraish Shihab

Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996

Jln. Yodkali 16, Bandung 40124

Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038

mailto:mizan@ibm.net





Sabtu, 01 Mei 2010

Characters: 18271
Lines: 328
Words: 2348
Sentences: 373
Paragraphs: 308
PRAKATA (6/6)
KONSULTASI YANG TEPAT

Setelah agak jauh saya mengadakan penyelidikan, tampak oleh
saya adanya konsultasi yang tepat sekali disampaikan
kepada saya dari beberapa pihak, lebih-lebih lagi -dengan
sendirinya- dari kalangan guru-guru besar dan pemuka-pemuka
agama. Dan bantuan paling besar saya terima ialah dari
Perpustakaan (Nasional) Mesir dan para pejabatnya yang telah
mengulurkan tangan memberikan bermacam-macam bantuan, yang
sebagai penghargaan tidak cukuplah rasanya ucapan
terimakasih saya ini. Memadai juga kiranya bila saya
sebutkan, bahwa Tuan 'Abd'r-Rahim Mahmud, Korektor bagian
Lektur pada Perpustakaan, tidak jarang pula membebaskan saya
dari harus pergi sendiri ke perpustakaan serta meminjamkan
buku-buku yang saya kehendaki disertai sikap ramah-tamah,
baik oleh Direktur atau pejabat-pejabat tinggi lainnya yang
bertugas. Juga perlu saya sebutkan, bahwa setiap kali saya
mengunjungi perpustakaan itu sehubungan dengan penyelidikan
yang perlu saya lakukan, selalu saya menerima layanan yang
begitu baik sekali, baik dari pejabat tinggi atau pejabat
ba'vahan, baik yang saya kenal atau yang tidak saya kenal.
Dalam hal saya kadang terbentur pada beberapa masalah, maka
datanglah kawan-kawan itu membukakan jalan, sehingga tidak
jarang hal ini merupakan bantuan yang besar sekali bagi
sayaa Sering juga saya jumpai bantuan demikian itu dari
Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi, Rektor Al-Azhar, dari
sahabat karib saya Ja'far (Pasya) Wali, yang telah
meminjamkan beberapa buah buku kepada saya seperti Shahih
Muslim dan buku-buku sejarah tentang Mekah. Ditunjukkannya
pula beberapa masalah, diantarkannya saya ke tempat yang
saya perlukan. Demikian juga sahabat saya Makram 'Obaid,
telah meminjamkan buku Sir William Muir, The Life of
Mohammad8, buku Lammens, L'Islam, di samping pertolongan
yang saya peroleh dari karya-karya kontemporer yang sangat
berharga seperti Fajr'l-lslam oleh Ahmad Amin,
Qishah'l-Anbia' oleh 'Abd'l Wahhab an-Najjar,
Fil-Adab'l-Jahili oleh Dr. Taha Husain, Al Yahud fi
Bilad'l-'Arab oleh Israel Wilfinson. Selain itu banyak lagi
buku-buku lain oleh penulis-penulis kontemporer yang saya
sebutkan dalam bibliografi buku-buku lama dan baru, yang
saya pergunakan dalam menyiapkan buku ini.
DALAM BATAS-BATAS BIOGRAFI, TIDAK LEBIH

Setiap saya mengadakan penyelidikan demikian ini lebih
dalam, ternyata ada beberapa problema di depan saya yang
perlu dipikirkan lagi dan diselidiki lebih lanjut guna dapat
mengatasinya. Seperti buku-buku sejarah dan tafsir yang
telah memberikan petunjuk kepada saya dengan cukup
memuaskan, demikian juga halnya dengan buku-buku para
Orientalis. Akan tetapi dalam menghadapi masalah-masalah itu
tampaknya terpaksa saya harus membatasi diri hanya dalam
menyelidiki kehidupan Muhammad saja, dengan tidak mengurangi
persoalan-persoalan lain yang kiranya ada hubungannya dengan
penyelidikan ini. Kalau saya mau menyelidiki segala sesuatu
yang berhubungan dengan sejarah hidup orang yang begitu
besar dan cemerlang ini, tentu diperlukan penulisan beberapa
jilid dalam ukuran seperti buku ini. Baik juga saya
sebutkan, bahwa Caussin de Perceval menulis tiga jilid buku
dengan judul Essai sur l'Histoir des Arabes, jilid pertama
dan kedua mengenai sejarah dan kehidupan kabilah-kabilah
Arab, jilid ketiga tentang Muhammad dan dua orang
Khalifahnya, Abu Bakr dan Umar. Demikian juga Tabaqat Ibn
Sa'd yang terdiri dari beberapa jilid, jilid pertamanya
khusus tentang kehidupan Muhammad, sedang yang selebihnya
mengenai kehidupan para Sahabatnya.

Dalam mengadakan penyelidikan ini pada mulanya memang tidak
saya maksudkan hendak melampaui batas sejarah kehidupan
Muhammad, sebab saya tidak ingin membiarkan ini nanti
menjadi kacau, sehingga akan menyimpang dari tujuan yang
saya maksud.

Hal lain yang menahan saya hanya pada batas-batas sejarah
hidup ini, ialah karena indahnya dan besarnya peristiwa itu,
sehingga yang lainpun rasanya akan tertutup karenanya.
Alangkah besarnya Abu Bakr! Alangkah besarnya Umar! Keduanya
dalam masa Khilafat mereka masing-masing merupakan cahaya
bintang sehingga yang lain tertutup karenanya. Betapa
besarnya sahabat-sahabat dahulu itu mendampingi Muhammad,
dibuktikan oleh generasi demi generasi dan yang kemudian
menjadi kebanggaan generasi itu!

Akan tetapi - selama masa hidup Nabi - mereka semua masih
dapat bernaung di bawah kebesarannya, masih mendapat
percikan sinarnya.

Bagi orang yang menyelidiki sejarah hidup Rasul, tidak mudah
akan dapat meninggalkan hal itu untuk berpindah ke soal yang
lain. Hal ini terasa sekali apabila pembahasan demikian ini
didasarkan kepada metoda ilmiah yang baru, seperti yang akan
saya coba ini; yang dengan metoda itu pula justru kelak akan
terlihat kebesaran Muhammad, kebesaran yang sekaligus
menguasai pikiran, hati nurani dan perasaan manusia, dan
menanamkan rasa hormat karenanya, hormat dan percaya betapa
kuatnya kebesaran itu, yang dalam hal ini baik bagi Muslim
atau non-Muslim tidakkan berbeda pendapat.
PENYELIDIKAN BERGUNA BAGI SELURUH UMAT MANUSIA

Kalau kita ke sampingkan mereka yang masih fanatik dan keras
kepala, yang dalam merendahkan kebesaran Muhammad sudah
menjadi kebiasaan mereka, seperti yang dilakukan oleh kaum
misi penginjil dan sebangsanya, maka rasa hormat akan
kebesaran dan percaya akan kuatnya kebesaran itu akan kita
baca jelas sekali dalam buku-buku sarjana-sarjana
Orientalis. Dalam Heroes and Hero Worship, Carlyle
membicarakan satu pasal tentang Muhammad yang digambarkannya
sebagai percikan sinar Ilahi yang kudus yang telah diberikan
kepadanya, kemudian dilukiskannya rasa hormat atas kebesaran
yang luarbiasa kuatnya itu. Demikian juga Irving, Sprenger,
Weil dan Orientalis lainnya, masing-masing dapat
menggambarkan kebesaran Muhammad dengan cara yang kuat
sekali. Apabila salah seorang di antara mereka itu, dalam
memasuki beberapa masalah masih menganggap ada suatu
kekurangan pada diri pembawa risalah Islam itu, maka tidak
lain itu hanya karena mereka belum lagi mengujinya dan
meneliti secara ilmiah yang lebih saksama, atau karena
mereka berpegang pada beberapa buku sejarah atau tafsir yang
masih diragukan kebenaran sumbernya, dengan melupakan bahwa
buku-buku biografi yang pertama itu baru dua abad kemudian
sesudah masa Muhammad ditulis orang, dengan
menyelip-nyelipkan, -baik dalam sejarah atau dalam
ajaran-ajarannya,- Israiliat (dongeng-dongeng Judaica) dan
ribuan hadis-hadis palsu. Meskipun kaum Orientalis itu
mengakui kenyataan ini, namun mereka tidak mau mengakui
kelalaiannya sendiri untuk dapat menentukan sesuatu yang
dianggapnya benar itu; padahal dengan sedikit penelitian
saja sudah akan dapat ditolak. Di antaranya soal gharaniq
misalnya, soal Zaid dan Zainab, soal perkawinan atau
isteri-isteri Nabi, yang justru akan menjadi bahan pengujian
dan penelitian dalam buku ini.

Sungguhpun begitu saya tidak beranggapan bahwa saya sudah
sampai ke tujuan terakhir dalam menyelidiki sejarah hidup
Muhammad. Bahkan barangkali akan lebih tepat bila saya
katakan, bahwa saya baru dalam taraf permulaan mengadakan
penyelidikan dengan metoda ilmiah yang baru ini, dalam
bahasa Arab. Segala daya upaya yang saya gunakan dalam hal
ini tidak lepas dari, bahwa buku ini baru merupakan taraf
permulaan dalam penyelidikan Islam dari segi ilmiahnya.
Bilamana sudah ada sarjana-sarjana dan ahli-ahli sejarah
yang mengkhususkan diri menyelidiki salah satu kurun
(perioda) dalam sejarah - seperti Aulard9 yang khusus
menyelidiki sejarah revolusi Perancisl dan beberapa sarjana
lain yang juga menyelidiki masa-masa tertentu dalam sejarah
pelbagai bangsa maka patut sekali bila atas biografi
Muhammad ini secara khusus juga diadakan penyelidikan ilmiah
yang menyeluruh, yang dapat dilakukan oleh kaum cendekiawan,
yang khusus pula dalam bidangnya masing-masing. Tidak sangsi
lagi saya, bahwa pengkhususan dan penyelidikan ilmiah untuk
waktu yang begitu singkat dalam sejarah tanah Arab serta
hubungannya dengan aneka macam bangsa waktu itu, hasilnya
akan berguna sekali, bukan saja bagi Islam dan umat Islam,
tetapi juga untuk seluruh dunia. Dari segi psikologi dan
kehidupan rohani hal ini akan merupakan masalah yang berguna
sekali bagi ilmu pengetahuan, di samping penerangan yang
akan diperoleh dari segi-segi kehidupan sosial, etika dan
hukum. Dalam menghadapi masalah ini ilmu pengetahuan masih
saja maju-mundur, terpengaruh oleh pertentangan agama -
Islam dan Kristen - serta adanya usaha-usaha yang sia-sia
hendak melakukan westernisasi terhadap orang Timur atau
kristenisasi terhadap kaum Muslimin, suatu hal yang telah
menghasilkan kegagalan dan kekecewaan generasi demi
generasi, dan di mana-mana telah menimbulkan pengaruh yang
buruk dalam hubungan umat manusia satu sama lain.

Dengan melihat lebih jauh dari semua itu saya berpendapat,
bahwa penyelidikan demikian sudah seharusnya akan
mengantarkan umat manusia ke jalan peradaban modern yang
selama ini dicarinya. Apabila pihak Nasrani di Barat merasa
terlalu besar akan mendapatkan cahaya baru itu dari Islam
dan dari Rasulnya, lalu menantikan cahaya itu akan datang
dari teosofi India dan dari pelbagai macam aliran Timur Jauh
lainnya, maka orang-orang di Timur, baik umat Islam, Yahudi
atau Kristen, sudah layak sekali mengadakan penyelidikan
berharga ini dengan sikap yang bersih dan jujur - yakni
satu-satunya cara yang akan mencapai kebenaran.

Cara pemikiran Islam -yang pada dasarnya adalah pemikiran
ilmiah menurut metoda modern dalam hubungan manusia dengan
lingkungan hidup sekitarnya, yang dari segi ini realistik
sekali berubah menjadi pemikiran yang subyektif, yang
bersifat pribadi, ketika masalahnya menjadi hubungan manusia
dengan alam semesta dan Pencipta alam.

Dengan demikian, dari segi psikologi dan kerohanian,
timbullah pengaruh-pengaruh, yang di dalam menghadapinya
ilmu pengetahuan sendiri jadi kebingungan, tak dapat
mengiakan atau meniadakannya. Dengan demikian ia lalu tidak
menganggapnya sebagai kenyataan-kenyataan ilmiah. Sungguhpun
begitu kenyataan ini menjadi sendi kebahagiaan hidup manusia
dan merupakan unsur formatif dalam tingkah-lakunya. Apakah
hidup itu? Apa pula hubungan manusia dengan alam semesta
ini? Apa yang menggairahkan hidupnya. Apakah arti
kepercayaan bersama, yang memberikan kekuatan moril dalam
masyarakat, yang dengan lemahnya kepercayaan bersama itu,
masyarakatpun akan turut pula menjadi lemah? Apakah wujud
itu? Dan apa pula kesatuan wujud itu? Bagaimana kedudukan
manusia dalam kesunyian dan eksistensinya?

Masalah-masalah demikian ini berada di bawah kekuasaan
logika abstraksi yang sudah mempunyai bahan literatur yang
begitu berlimpah-limpah banyaknya. Akan tetapi, dalam
menyampaikan manusia kepada kebahagiaannya, pemecahannya
akan lebih dekat kita peroleh dalam kehidupan dan
ajaran-ajaran Muhammad daripada dalam logika abstraksi, yang
selama berabad-abad sejak dinasti Abbasia, kaum Muslimin
telah menghabiskan umurnya untuk itu. Demikian juga
orang-orang di Barat, selama tiga abad sejak abad ke-16
hingga abad ke-19 mereka telah menghabiskan umur mereka -
kecuali ilmu pengetahuan modern - yang berakhir membawa
nasib Barat seperti yang dialami kaum Muslimin masa lampau.
Seperti pada masa lampau, masa kinipun ilmu itu kemudian
terancam akan terbentur pula tanpa dapat memberikan
kebahagiaan kepada umat manusia.

Maka tak ada jalan lain kiranya untuk mencapai kebahagiaan
hidup kecuali dengan kembali mencari hubungan subyektif
dengan alam ini sebaik-baiknya serta dengan Pencipta alam
ini, Yang tak terikat oleh ruang dan waktu, Yang mutlak
dalam kesatuan yang tak berubah-ubah, selain dalam arti
nisbi dalam hubungannya dengan hidup kita yang singkat ini.

Sudah tentu, sejarah hidup Muhammad ini adalah contoh
terbaik dalam mengadakan studi tentang hubungan subyektif
dalam arti teori, atau dalam arti praktek, bagi orang yang
mempunyai kemampuan ke arah itu. Mengingat jauhnya jarak
dalam arti hubungan Ilahi, seperti yang telah dianugerahkan
Tuhan kepada Rasulullah, maka orang akan dapat mencoba hal
itu pada taraf permulaan. Menurut hemat saya, kedua macam
studi ini - bila sudah dapat disesuaikan - akan dapat
mengangkat martabat dunia kita sekarang ini dari lembah
paganisma, menurut kepercayaan agama dan pengetahuan
masing-masing; paganisma yang telah membuat harta
satu-satunya tempat pujaan (mammonisma), dengan meremehkan
nilai-nilai seni, ilmu, moral dan bakat manusia. Bisa jadi
penyesuaian demikian ini masih jauh. Akan tetapi adanya
gejala-gejala akan lenyapnya paganisma yang sekarang
menguasai dunia kita, mengemudikan kebudayaan yang berkuasa
sekarang, tampak jelas sekali bagi setiap orang yang mau
mengikuti jalannya sejarah dan peristiwa-peristiwa dunia.

Apabila secara khusus dipelajari sungguh-sungguh sejarah
hidup Muhammad itu sebagai Nabi serta ajaran-ajarannya,
masanya dan revolusi rohani yang dibawanya yang telah
tersebar ke seluruh dunia, barangkali gejala-gejala ini akan
makin jelas di depan mata dunia, bahwa masalah-masalah
rohani ini adalah timbul dari pengaruh yang ditinggalkannya.
Jika studi ilmiah dan studi yang subyektif mengenai tenaga
umat manusia yang masih tersimpan ini, dapat menambah
hubungan umat manusia dengan hakikat alam yang lebih tinggi,
maka itu sudah merupakan perletakan batu pertama dalam sendi
peradaban modern.

Buku inipun tidak lebih adalah sebagai usaha permulaan
kearah itu, seperti sudah saya sebutkan. Kiranya cukuplah
bagi saya bilamana buku ini dapat meyakinkan orang, dapat
meyakinkan para sarjana dan ahli-ahli akan pentingnya
spesialisasi dan pengkhususan guna mencapai tujuan dalam
menyelidiki sesuatu bidang itu. Andaikata usaha ini dapat
memberi hasil kepada salah satu atau kedua tujuan itu,
inipun sudah merupakan imbalan yang cukup besar terhadap
daya upaya yang saya lakukan. Dan Allah jualah yang akan
membalas jasa mereka yang telah berbuat kebaikan.

MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL

Catatan kaki:
-------------
[1] Gelar raja-raja keluarga Sasani di Iran, dalam literatur
Islam biasa disebut Kisra (Khosrau, Khosroes). Kisra I
Anusyirwan, putera Kavadh I yang berperang melawan Bizantium
di bawah Yustinianus. Kisra II Parvez, putera Ormizd IV dan
cucu Kisra I menyerang Anatolia dan Suna sampai di Bosporus.
Syahrvaraz dapat menaklukkan Damaskus dan Yerusalem dan
Salib Besar (The True Cross) diambil, kemudian Heraklius
dapat mengalahkan Persia di Niniveh (626). Kisra lari ke
Ctesiphon (Mada'in). Ia dipenjarakan oleh anaknya Kavadh II
(Syiruya) dan empat hari kemudian dibunuh (628) dalam
penjara (A).
[2] Dalam buku A J. Butler The Arab Conquest of Egypt
penulis itu menyebutkan bahwa nama panglima itu Khoriyam dan
bahwa nama Shahravaas atau Shahrabaraz atau Sheravizeh dan
lain-lain, yang terdapat dalam pelbagai buku hanyalah suatu
perubahan saja dari nama Persia, Shahar dan Wazar sebagai
suatu gelar yang berarti "Babi Hutan Sang Raja" sebagai
lambang kekuatan dan keberanian. Gambarnya dilukiskan dalam
cincin Persia Lama dan juga dalam cincin Armenia (Lihat The
Arab Conquest of Egypt, p. 53)
[3] Sebuah kota di Suriah, terletak 106 km. Selatan Damsyik
berbatasan dengan Yordania. Dalam sejarah lama kota ini
dikenal dengan nama Edrei. Sekarang dilcenal dengannama
Dar'a (A).
[4] Bushra atau Bostra, sebuah kota lama di Hauran, barat
daya Suria, kira-kira 106 km dari Damsyik dan 35 km. dari
Adhri'at (A).
[5] Emile Dermenghem, La Vie de Mahomet, halaman 135 dan
berikutnya.
[6] Az zamani, harfiah mengenai zaman, mengenai tempo, yang
secara termenologi berarti temporal. Untuk menghindarkan
adanya perbedaan semantik, yang juga dapat diartikan
"sementara, duniavii" atau "sekular" maka di sini saya
mempergunakan istilah secara harfiah (A).
[7] Teosofi adalah suatu ajaran yang ditanamkan oleh Madame
Blavatsky dari bermacam-macam agama terutama Buddha dan
Brahma. Ajaran ini mendirikan sebuah organisasi di Amerika
dipimpin oleh Madame Blavatsky sendiri, bernama The
Theosophical Society, dan cabang-cabangnya tersebar di
beberapa tempat di Eropa. Tetapi begitu Madame Blavatsky
meninggal, organisasi Teosofl inipun pecah menjadi tiga.
Aktifitasnya didasarkan kepada adanya kesatuan hidup dengan
mengadakan semacam latihan mistik untuk mencapai Nirwana
menurut ajaran Buddha. Tingkat ini dapat dicapai bilamana
dalam latihannya itu orang sudah benar-benar dapat
memisahkan ruh dari pengaruh hidup kebendaan. Apabila dengan
demikian ruh sudah mencapai tempat yang suci, maka ruh yang
lebih tinggi dapat menghubunginya. Ajaran Teosofi menyerukan
persaudaraan secara menyeluruh, tanpa membeda-bedakan
bangsa, bahasa dan segala yang akan membatasi manusia dari
tujuan tersebut.
[8] Buku Muir ini terdiri dari dua edisi, aslinya dengan
judul The Life of Mahomet and the History of Islam (1858) 4
jilid. Kemudian diringkaskan oleh T.H. Weir dengan judul The
Life of Mohammad from Original Sources (1923) (A).
[9] A. Aulard pengarang Histoire Politique de la Revolution
Francaise mengkhususkan penulisan sejarah revolusi Perancis
untuk masa 15 tahun saja (1789 - 1804) dalam 4 jilid (A).

---------------------------------------------
S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D

oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980

Seri PUSTAKA ISLAM No.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar